KAJIAN RESTITUSI KOMPENSASI DAN BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM LAINNYA TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Masalah
perdagangan manusia (Human Trafficking) bukan lagi hal yang baru, tetapi sudah
menjadi masalah nasional dan internasional yang sampai saat ini belum dapat
diatasi secara tepat, baik oleh pemerintah nasional maupun oleh
organisasi-organisasi internasional yang berwenang dalam menangani masalah
perdagangan manusia tersebut.
Perdagangan
manusia (human trafficking) sangat berkaitan erat dengan hubungan antar negara,
karena perdagangan tersebut biasanya dilakukan di daerah perbatasan negara dan
modus operasi yang dilakukan adalah pengiriman ke berbagai negara penerima.
Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan menjadikan faktor utama
perdagangan manusia, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaksi
perdagangan tersebut.[1]
Semakin maraknya
kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia, mengharuskan pemerintah
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
perdagangan manusia, serta meratifikasi berbagai konvensi internasional
mengenai perdagangan orang.
Di Indonesia
sendiri telah diatur UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, untuk menanggulangi dan mencegah tindak pidana perdagangan
orang di Indonesia. Pemberantasan tersebut adalah dengan dikenakan
sanksi-sanksi pidana bagi para pelaku tindak pidana perdagangan orang, selain
itu juga diatur mengenai perlindungan hukum bagi korban tindak pidana
perdagangan orang yang sebagian banyak adalah perempuan dan anak-anak. Sebagai
bentuk perlindungan tersebut terdapat restitusi, kompensasi, dan bentuk
perlindungan hukum lainnya yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia.
Untuk itu, dalam makalah ini akan
dibahas mengenai restitusi, kompensasi dan perlindungan hukum lainnya yang
berkaitan dengan tindak pidana perdagangan Orang di Indonesia.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar
belakang masalah diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan restitusi dan kompensasi dalam hukum pidana?
3.
Bagaimana
restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?
4.
Bagaimana
kompensasi bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?
5.
Apa
saja perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang selain
restitusi dan kompensasi?
III.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan manusia;
2.
Untuk
mengetahui pengertian restitusi dan kompensasi beserta bentuk dan macamnya;
3.
Untuk
mengetahui bentuk restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana
perdagangan orang;
4.
Untuk
mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang selain restitusi dan kompensasi.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A.
DEFINISI PERDAGANGAN
ORANG
Berdasarkan Pasal 1
angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB Perdagangan Orang
(Trafficking) berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain
dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh
keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas
orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak
eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.[2]
Pengertian perdagangan orang dalam UU No. 21 Tahun 2007 tidak
jauh berbeda dengan definisi yang ada di dalam pasal 3 Protokol PBB. Selain
definisi dari perdagangan orang, di dalam Undang-undang juga terdapat definisi
pelaku perdagangan orang, orang yang diperdagangkan, serta perdagangan anak.
Pelaku
trafficking diartikan sebagai seorang yang melakukan atau terlibat dan
menyutujui adanya aktivitas perekrutan, transportasi, perdagangan, pengiriman,
penerimaan atau penampungan atau seorang dari satu tempat ke tempat lainnya
untuk tujuan memperoleh keuntungan.
Orang
yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang yang direkrut,
dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan, sebagaimana
disebutkan dalam definisi trafficking pada manusia termasuk anak, baik anak
tersebut mengijinkan atau tidak.
B.
DEFINISI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2007 Tindak pidana
perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini.
(Substansi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas tujuan
kejahatan trafiking, hakim dapat menghukum seseorang).
Di Indonesia, protocol PBB tentang Trafficking diadopsi dalam
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan
Anak. RAN dikuatkan dalam bentuk Keppres RI Nomor 88 tahun 2002, disebutkan
Trafficking Perempuan dan Anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang
mengandung salah satu atau tindakan perekrutan antar daerah dan antar Negara,
pemindah tanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau
ditempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekuasaan
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi
kerentaan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain), terisolasi,
ketergantungan obat, jebakan hutang, memberikan atau menerima pembayaran atau
keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual (termasuk phaedofilia), buruh migrant legal maupun illegal,
adopsi anak, pekerjaan formal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga,
mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ
tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Dari pengertian di atas
dapat diketahui bahwa perdagangan orang adalah kejahatan kemanusiaan yang dapat
terjadi apabila serangkaian proses, cara dan tujuan dari kejahatan tersebut
terpenuhi.
1.
Proses:
Perekrutan, Pengangkutan, Penampungan, Pengiriman, Pemindahan, atau Penerimaan
seseorang
2.
Cara: Ancaman kekerasan, Penggunaan Kekerasan, Penculikan, penyekapan,
Pemalsuan, Penipuan, Penyalahgunaan Kekuasaan atau posisi rentan, atau
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
3.
Tujuan:
eksploitasi, eksploitasi termasuk Pelacuran, Kerja Paksa, Perbudakan, Kekerasan
Seksual, atau Transplantasi Organ.
Apabila
salah satu dari proses, salah satu dari cara dan salah satu dari tujuan di atas
terpenuhi, maka sudah bisa dikelompokkan sebagai tindak pidana perdagangan
orang. Khusus apabila korbannya adalah anak (usia di bawah 18 tahun, termasuk
yang masih dalam kandungan), meskipun tidak memenuhi cara-cara di atas, sudah
merupakan tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan
pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami
mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana
Perdagangan Orang. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang
dewasa (umur ≥ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan
adalah Proses (Pergerakan), Cara, dan Tujuan (Eksploitasi). Sedangkan apabila
korban adalah Anak (umur ≤ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan
adalah Proses (Pergerakan) dan Tujuan (Eksploitasi) tanpa harus memperhatikan
Cara terjadinya traffiking.
Penjelasan
unsur-unsur trafiking yang dimaksud adalah apakah ada Proses (pergerakan)
seseorang menjadi korban dari tindak perdagangan orang melalui Direkrut,
Ditransportasi, Dipindahkan, Ditampung, atau Diterimakan ditujukan, sehingga
seseorang menjadi korban traffiking. Sedangkan unsur Cara apakah seseorang
tersebut mengalami tindakan Diancam, Dipaksa dengan cara lain, Diculik, menjadi
Korban Pemalsuan, Ditipu atau menjadi Korban Penyalahgunaan Kekuasaan, sehingga
seseorang menjadi korban traffiking. Kemudian dilihat dari unsur Tujuan
(Eksploitasi) apakah korban tereksploitasi seperti dalam bidang Pelacuran,
Bentuk lain dari eksploitasi seksual, Kerja Paksa, Perbudakan, Praktek-praktek
lain dari perbudakan (misal: tugas militer paksa), atau Pengambilan organ-organ
tubuh. Jika memenuhi semua unsur tersebut maka seseorang dipastikan menjadi
korban perdagangan orang.
Definisi perdaganagan
orang sebagaimana yang terdapat dalam UUPTPPO ini menunjukan bahwa
tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya
tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan
yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Kata “untuk tujuan”
sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” mempertegas bahwa tindak pidana
perdagangan orang merupakan delik formil.
Dalam UUPTPPO,
tindak pidana perdagangan orang yang dipahami sebagai Tindak Pidana Perdagangan
Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (Pasal 1
angka 2 UUPTPPO). Secara lebih tegas Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO merincikan bahwa
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sanksi yang sama ini juga berlaku
untuk dikenakan pada setiap tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang
mengakibatkan orang tereksploitasi.
II.
RESTITUSI
DAN KOMPENSASI
A.
PENGERTIAN
RESTITUSI
Restitusi atau
restorasi perbaikan atas kerugian baik fisik, morel, maupun harta benda,
kedudukan dan hak-hak korban atas serangan penjahat. Merupakan bentuk pertanggungjawaban
penjahat yang berkarakter pidana, dibayar oleh penjahat (pelaku) berdasarkan
putusan pengadilan atas tuntutan korban melalui proses peradilan pidana.[3]
Berdasarkan
PP RI No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran HAM yang Berat, restitusi adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat
berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan
atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Dasar hukum
pemberian restitusi terhadap korban kejahatan yaitu:
1.
Pasal
98 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian untuk mempercepat proses memperoleh restitusi.
2.
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 14c mengenai syarat khusus yang
diberikan kepada pelaku kejahatan berupa ganti rugi terhadap korbannya
(restitusi).
3.
Rancangan
KUHAP pasal 31 ayat (1) juga mengatur tentang penggabungan perkara gugatan
ganti kerugian pada perkara pidana.
4.
Rancangan
KUHP pada pasal 34 menentukan adanya restitusi sebagai pidana tambahan.
Dasar hukum restitusi juga dapat ditemukan pada pengaturan tindak
pidana tertentu yaitu UU No. 23 tahun 1997 pasal 47 sub c, sub d dan sub e,
adalah pemberian restitusi dalam bentuk tindak tata tertib, UU No. 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 18 sub b mengatur
tentang restitusi bagi collective victime. UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen pada pasal 63 menempatkan restitusi sebagai pidana
tambahan dapat diketahui bahwa pengaturan pemberian restitusi terhadap korban
kejahatan di Indonesia sangat terbatas terutama dalam Kitab Undang undang Hukum
Acara Pidana jika dibandingkan dengan pengaturan hak-hak dan segala atribut
pelaku kejahatan. Restitusi hanya merupakan
sanksi tambahan yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan akibat perbuatan yang
dilakukannya terhadap korban dan bukan sanksi pokok.[4]
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, restitusi dapat
diberikan kepada semua korban perbuatan pidana yang terjadi, dan tidak terbatas
pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana hak atas
kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak
menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam
UU No. 26 Tahun 2000. Sementara hak korban atas rehabilitasi hanya dinyatakan
sebagai bantuan kepada korban dalam hal rehabilitasi psiko-sosial (pasal 6
huruf b).[5]
Dalam memberikan pelayanan kepada korban dalam
bentuk restitusi dikenal dua model pendekatan model hak-hak prosedural dan
model pelayanan (Barda Nawawi Arief, 2009). Dalam konsepsi hak-hak prosedural,
koban aktif membela kepentingannya mulai dari proses penyidikan, kejaksaan
hingga pengadilan, korban juga harus hadir dan didengar kesaksiaannya dalam
setiap proses peradilan, korban punya hak untuk menuntut ganti kerugian bahkan
mengadakan perdamaian dengan pelaku, korban punya hak yuridis kuat untuk
mengejar hak-haknya yang dirampas oleh pelaku. Sementara itu, model pelayanan
melihat korban sebagai sasaran umum untuk dilayani. Pemberian sanksi pidana
yang bersifat restitutif dan kompensasi kepada korban. Adanya pusat-pusat
pelayanan adalah untuk korban yang disediakan negara atau civil society.[6]
B.
PENGERTIAN KOMPENSASI
Berkaitan
dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat merupakan indikasi
pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang
berkarakter perdata. Kompensasi diminta oleh korban dalam bentuk permohonan dan
apabila dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara).
Kebijakan
terhadap perlindungan kepentingan korban merupakan bagian yang integral dari
usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan
negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur tangan secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap
nasib korban secara kongkrit dan individual, salah satunya adalah
dalam bentuk kompensasi.[7]
Dalam kaitan
ini, Arif Gosita[8] menulis
alasan-alasan utama ganti kerugian (kompensasi) kepada korban oleh negara
antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Kewajiban
negara untuk melindungi warga negaranya;
2.
Tidak
cukupnya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku pada korban;
3.
Ketidaklayakan
pembahagian hasil;
4.
Pandangan
Sosiologi bahwa terjadinya perbuatan pidana
adalah merupakan kesalahan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan PP No. 3 Tahun 2002 Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan
oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya.
Dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian
kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak
mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban, dengan ketentuan ini,
muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban perbuatan pidana, karena negara adalah yang paling berkewajiban untuk memperhatikan
keadaan warganya. Negara, melalui aparaturnya, berkewajiban untuk
menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat.
Oleh karena itulah perbuatan pidana yang terjadi adalah tanggung
jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara
pula.
Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun
menurut Stephen Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa
kompensasi lebih bersifat keperdataan.
Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh
masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the
responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana,
yang timbul dari putusan Pengadilan dan dibayar oleh terpidana atau
merupakan bentuk pertanggungjawapan terpidana (the
responsibility of the offender).[9]
Lebih lanjut Stephen Schafer menyatakan terdapat lima system
pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:
1.
ganti
rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. System
ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses peradilan pidana;
2.
kompensasi
yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana;
3.
Restitusi
yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui
proses pidana.
Walaupun
restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat
pidana (punitif) nya.
Salah satu
bentuk restitusi menurut system ini adalah “denda
kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang
bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana
sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan di
samping pidana yang seharusnya diberikan.
4.
Kompensasi
yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh
sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek
pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap
merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau
menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan Pengadilan kepada pelaku. Hal
ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya
melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.[10]
Di Indonesia lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian
kompensasi tehadap korban kejahatan dalam hal ini dibebankan pada
LPSK.
III.
RESTITUSI
DAN KOMPENSASI TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG
A.
RESTITUSI
KORBAN PERDAGANGAN ORANG
Restitusi atau
ganti kerugian sangat penting bagi mereka yang menjadi korban tindak pidana
perdagaan orang. Pemberian restitusi diatur secara jelas dalam Pasal 48 UU
No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Selain diatur dalam Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007, restitusi bagi korban TPPO
juga diatur dalam Pasal 7A UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Restitusi disini merupakan
ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku. Dalam
Pasal 6 UU No 31 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa korban TPPO berhak
mendapatkan bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan
psikologis.
Restitusi
diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan
yang dialami korban akibat terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Menurut
ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 berupa ganti kerugian atas:[11]
a.
Kehilangan
kekayaan atau penghasilan;
b.
Penderitaan;
c.
Biaya
untuk tindakan perawatan medis dan atau psikologis; dan/atau
d.
Kerugian
lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang yang meliputi:
a)
Kehilangan
harta kekayaan;
b)
Biaya
transportasi dasar;
c)
Biaya
pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; dan/atau
d)
Kehilangan
penghasilan yang dijanjikan pelaku.
Dalam penerapannya, restitusi sulit dilakukan karena adanya
beberapa kendala atau faktor yang mempengaruhinya antara lain dari
undang-undangnya sendiri, faktor sumber daya manusia, dan korbannya sehingga
diperlukan keterpaduan para penegak hukum agar dapat meringankan beban dari korban
dari tindak pidana perdagangan orang.
Restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban perdagangan
orang, dalam permohonannya dapat dilakukan dengan dua cara:[12]
a.
Korban
mengajukan restitusi sejak korban melaporkan kasus pidana ke Polisi setempat;
b.
Korban
dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendiri gugatan perdata atas
kerugiannya ke Pengadilan Negeri setempat.
B.
KOMPENSASI
KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA
Kompensasi
terhadap korban perdagangan manusia yaitu bentuk ganti kerugian yang dibayarkan
oleh negara kepada korban tindak pidana perdagangan orang.
Kompensasi
merupakan bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban tindak
pidana yang pelakunya tidak mampu membayar karena:
1.
Pelaku
meninggal dunia;
2.
Tindak
pidana yang kasusnya tidak terungkap;
3.
Tindak
pidana yang pelakunya tidak terungkap atau melarikan diri;
4.
Pelakunya
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana;
Kompensasi lebih bersifat perdata yang timbul dari permintaan
korban dan dibayar oleh negara sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.
Di dalam UU No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak mengatur tentang
kompensasi, hanya mengatur mengenai restitusi dan rehabilitasi terhadap korban
tindak pidana perdagangan orang. UU No. 21 Tahun 2007 tidak mengatur mengenai
kompensasi karena kompensasi diberikan oleh negara kepada korban tindak pidana
karena negara gagal melaksanakan tugasnya yaitu melindungi seluruh masyarakat
dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.
Dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang
perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa kompensasi hanya dapat diberikan
terhadap korban tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM.
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa tidak ada kompensasi
terhadap korban tindak pidana perdagangan orang karena kompensasi hanya
diberikan oleh negara terhadap korban tindak pidana pelanggaran HAM dan
terorisme.
C.
PERLINDUNGAN
HUKUM LAINNYA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Selain
kompensasi dan restitusi, ada juga bentuk perlindungan hukum lainnya terhadap
korban tindak pidana perdagangan orang yaitu antara lain:
1.
Pusat pelayanan terpadu
Di dalam negeri, perlindungan
dalam bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termasuk penampungan dan
pemulangan ke daerah asal korban, menjadi tanggung jawab sektor-sektor sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
2.
Rumah perlindungan sosial anak
Rumah perlindungan sosial anak memberikan layanan
perlindungan, pemulihan kesehatan fisik dan psikologis, pengembangan relasi
sosial dan mewujudkan situasi kehidupan dan lingkungan yang mendukung
keberfungsian sosial dan mencegah terulangya tindak kekerasan dan pelakuan
salah terhadap anak.
3.
Pelayanan perempuan dan anak
4.
Pemulangan korban perdagangan manusia
5.
Women’s critis center, trauma center, shelter atau drop in center
6.
Bantuan hukum
Kepada korban perdagangan orang juga diberikan layanan
bantuan hukum dan pendampingan hukum berkaitan dengan masalahnya dan kedudukan
yang seringkali diminta menjadi saksi bagi pelaku perdagangan manusia yang
telah berbuat jahat kepadanya. Disamping bantuan hukum yang diberikan oleh
pemerintah, masyarakat juga diharapkan dapat juga ikut berpartisipasi dalam
memberikan bantuan hukum kepada korban seperti lembaga berbadan hukum yang mana
disamping aktif memberikan bantuan hukum kepada korban juga memberikan
sosialisasi dan advokasi kepada para penegak hukum agar menuntut dan
menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku perdagangan manusia.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Perdagangan Orang
adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Terhadap korban
tindak pidana perdagangan orang terdapat perlindungan hukum yaitu restitusi dan
bentuk perlindungan hukum lainnya. Namun disini, perlindungan terhadap korban
tindak pidana perdagangan orang tidak terdapat ganti kerugian oleh negara atau yang
disebut kompensasi. Karena dalam UU No. 21 Tahun 2007 tidak mengatur tentang
kompensasi, sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan
korban menyatakan bahwa kompensasi hanya diberikan kepada korban tindak pidana
terorisme dan pelanggaran HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Gosita, Arif. 1987. Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan
Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co
Schafer,
Stephen. 1968. The Victim and Criminal, Random House. New York
Hendriana,
Rani. 2015. Materi Viktimologi.Purwokerto: Fakultas hukum Unsoed
UU
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
UU
No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
[1] Konvensi Hak
Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
[2] Pasal
3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia,
Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di
Palermo, Sisilia, Italia
[3] Materi
Viktimologi, Rani Hendriana, S.H., M.H.
[4] Nur Aisah,
Restitusi dan Kompensasi terhadap Korban Kejahatan dalam Perspektif Kebijakan
Kriminal, Abstraksi, Universitas Muhammadiyah Malang (http://eprints.umm.ac.id/3538/)
[5] Penjelasan Pasal 6 huruf b UU No. 13 Tahun
2006: “ yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan
yang diberikan oleh psikolog kepada korban
[6] http://business-law.binus.ac.id/2014/08/20/pemberian-restitusi-bagi-korban-tindak-pidana-dalam-sistem-peradilan-pidana-indonesia/
[7] Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Cetakan Pertama, Hal. 2
[8] Arif Gosita,
Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa
Catatan), Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987, Cetakan Pertama, Hal. 25
[9] Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York,
1968, halaman 112
[10] Stephen Schafer, 1968. Ibid, Hal 105-109
[11] Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Studi tentang Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang berkaitan dengan Perlindungan Hak-hak korban, 2008
[12] International
Organization for Migration hlm. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar