Selasa, 26 April 2016

VIKTIMOLOGI RESTITUSI KOMPENSASI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

KAJIAN RESTITUSI KOMPENSASI DAN BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM LAINNYA TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I
PENDAHULUAN

I.              LATAR BELAKANG
Masalah perdagangan manusia (Human Trafficking) bukan lagi hal yang baru, tetapi sudah menjadi masalah nasional dan internasional yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tepat, baik oleh pemerintah nasional maupun oleh organisasi-organisasi internasional yang berwenang dalam menangani masalah perdagangan manusia tersebut.
Perdagangan manusia (human trafficking) sangat berkaitan erat dengan hubungan antar negara, karena perdagangan tersebut biasanya dilakukan di daerah perbatasan negara dan modus operasi yang dilakukan adalah pengiriman ke berbagai negara penerima. Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan menjadikan faktor utama perdagangan manusia, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaksi perdagangan tersebut.[1]
Semakin maraknya kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia, mengharuskan pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan manusia, serta meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai perdagangan orang.
Di Indonesia sendiri telah diatur UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, untuk menanggulangi dan mencegah tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Pemberantasan tersebut adalah dengan dikenakan sanksi-sanksi pidana bagi para pelaku tindak pidana perdagangan orang, selain itu juga diatur mengenai perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang yang sebagian banyak adalah perempuan dan anak-anak. Sebagai bentuk perlindungan tersebut terdapat restitusi, kompensasi, dan bentuk perlindungan hukum lainnya yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai restitusi, kompensasi dan perlindungan hukum lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan Orang di Indonesia.

II.           RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.             Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang?
2.             Apakah yang dimaksud dengan restitusi dan kompensasi dalam hukum pidana?
3.             Bagaimana restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?
4.             Bagaimana kompensasi bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?
5.             Apa saja perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang selain restitusi dan kompensasi?
III.        TUJUAN
1.             Untuk mengetahui yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan manusia;
2.             Untuk mengetahui pengertian restitusi dan kompensasi beserta bentuk dan macamnya;
3.             Untuk mengetahui bentuk restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana perdagangan orang;
4.             Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang selain restitusi dan kompensasi.







BAB II
PEMBAHASAN

I.              TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A.           DEFINISI PERDAGANGAN ORANG
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB Perdagangan Orang (Trafficking) berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.[2]
Pengertian perdagangan orang dalam UU No. 21 Tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan definisi yang ada di dalam pasal 3 Protokol PBB. Selain definisi dari perdagangan orang, di dalam Undang-undang juga terdapat definisi pelaku perdagangan orang, orang yang diperdagangkan, serta perdagangan anak.
Pelaku trafficking diartikan sebagai seorang yang melakukan atau terlibat dan menyutujui adanya aktivitas perekrutan, transportasi, perdagangan, pengiriman, penerimaan atau penampungan atau seorang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk tujuan memperoleh keuntungan.
Orang yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang yang direkrut, dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan, sebagaimana disebutkan dalam definisi trafficking pada manusia termasuk anak, baik anak tersebut mengijinkan atau tidak.
B.            DEFINISI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2007 Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Substansi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas tujuan kejahatan trafiking, hakim dapat menghukum seseorang).
Di Indonesia, protocol PBB tentang Trafficking diadopsi dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. RAN dikuatkan dalam bentuk Keppres RI Nomor 88 tahun 2002, disebutkan Trafficking Perempuan dan Anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau tindakan perekrutan antar daerah dan antar Negara, pemindah tanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau ditempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekuasaan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain), terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedofilia), buruh migrant legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan formal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa perdagangan orang adalah kejahatan kemanusiaan yang dapat terjadi apabila serangkaian proses, cara dan tujuan dari kejahatan tersebut terpenuhi.
1.             Proses: Perekrutan, Pengangkutan, Penampungan, Pengiriman, Pemindahan, atau Penerimaan seseorang
2.             Cara: Ancaman kekerasan, Penggunaan Kekerasan, Penculikan, penyekapan, Pemalsuan, Penipuan, Penyalahgunaan Kekuasaan atau posisi rentan, atau penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
3.             Tujuan: eksploitasi, eksploitasi termasuk Pelacuran, Kerja Paksa, Perbudakan, Kekerasan Seksual, atau Transplantasi Organ.
Apabila salah satu dari proses, salah satu dari cara dan salah satu dari tujuan di atas terpenuhi, maka sudah bisa dikelompokkan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Khusus apabila korbannya adalah anak (usia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan), meskipun tidak memenuhi cara-cara di atas, sudah merupakan tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan Orang. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (umur ≥ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan adalah Proses (Pergerakan), Cara, dan Tujuan (Eksploitasi). Sedangkan apabila korban adalah Anak (umur ≤ 18 tahun) maka unsur-unsur trafiking yang harus diperhatikan adalah Proses (Pergerakan) dan Tujuan (Eksploitasi) tanpa harus memperhatikan Cara terjadinya traffiking.
Penjelasan unsur-unsur trafiking yang dimaksud adalah apakah ada Proses (pergerakan) seseorang menjadi korban dari tindak perdagangan orang melalui Direkrut, Ditransportasi, Dipindahkan, Ditampung, atau Diterimakan ditujukan, sehingga seseorang menjadi korban traffiking. Sedangkan unsur Cara apakah seseorang tersebut mengalami tindakan Diancam, Dipaksa dengan cara lain, Diculik, menjadi Korban Pemalsuan, Ditipu atau menjadi Korban Penyalahgunaan Kekuasaan, sehingga seseorang menjadi korban traffiking. Kemudian dilihat dari unsur Tujuan (Eksploitasi) apakah korban tereksploitasi seperti dalam bidang Pelacuran, Bentuk lain dari eksploitasi seksual, Kerja Paksa, Perbudakan, Praktek-praktek lain dari perbudakan (misal: tugas militer paksa), atau Pengambilan organ-organ tubuh. Jika memenuhi semua unsur tersebut maka seseorang dipastikan menjadi korban perdagangan orang.
Definisi perdaganagan orang sebagaimana yang terdapat dalam UUPTPPO ini menunjukan  bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” mempertegas bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil.
Dalam UUPTPPO, tindak pidana perdagangan orang yang dipahami sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 2 UUPTPPO). Secara lebih tegas Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO merincikan bahwa Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sanksi yang sama ini juga berlaku untuk dikenakan pada setiap tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan orang tereksploitasi.

II.           RESTITUSI DAN KOMPENSASI
A.           PENGERTIAN RESTITUSI
Restitusi atau restorasi perbaikan atas kerugian baik fisik, morel, maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas serangan penjahat. Merupakan bentuk pertanggungjawaban penjahat yang berkarakter pidana, dibayar oleh penjahat (pelaku) berdasarkan putusan pengadilan atas tuntutan korban melalui proses peradilan pidana.[3]
Berdasarkan PP RI No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 
Dasar hukum pemberian restitusi terhadap korban kejahatan yaitu:
1.             Pasal 98 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian untuk mempercepat proses memperoleh restitusi.
2.             Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 14c mengenai syarat khusus yang diberikan kepada pelaku kejahatan berupa ganti rugi terhadap korbannya (restitusi).
3.             Rancangan KUHAP pasal 31 ayat (1) juga mengatur tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana.
4.             Rancangan KUHP pada pasal 34 menentukan adanya restitusi sebagai pidana tambahan.
Dasar hukum restitusi juga dapat ditemukan pada pengaturan tindak pidana tertentu yaitu UU No. 23 tahun 1997 pasal 47 sub c, sub d dan sub e, adalah pemberian restitusi dalam bentuk tindak tata tertib, UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 18 sub b mengatur tentang restitusi bagi collective victime. UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 63 menempatkan restitusi sebagai pidana tambahan dapat diketahui bahwa pengaturan pemberian restitusi terhadap korban kejahatan di Indonesia sangat terbatas terutama dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana jika dibandingkan dengan pengaturan hak-hak dan segala atribut pelaku kejahatan. Restitusi hanya merupakan sanksi tambahan yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan akibat perbuatan yang dilakukannya terhadap korban dan bukan sanksi pokok.[4]
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, restitusi dapat diberikan kepada semua korban perbuatan pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU No. 26 Tahun 2000. Sementara hak korban atas rehabilitasi hanya dinyatakan sebagai bantuan kepada korban dalam hal rehabilitasi psiko-sosial (pasal 6 huruf b).[5]
Dalam memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk restitusi dikenal dua model pendekatan model hak-hak prosedural dan model pelayanan (Barda Nawawi Arief, 2009). Dalam konsepsi hak-hak prosedural, koban aktif membela kepentingannya mulai dari proses penyidikan, kejaksaan hingga pengadilan, korban juga harus hadir dan didengar kesaksiaannya dalam setiap proses peradilan, korban punya hak untuk menuntut ganti kerugian bahkan mengadakan perdamaian dengan pelaku, korban punya hak yuridis kuat untuk mengejar hak-haknya yang dirampas oleh pelaku. Sementara itu, model pelayanan melihat korban sebagai sasaran umum untuk dilayani. Pemberian sanksi pidana yang bersifat restitutif dan kompensasi kepada korban. Adanya pusat-pusat pelayanan adalah untuk korban yang disediakan negara atau civil society.[6]

B.            PENGERTIAN KOMPENSASI
Berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat merupakan indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang berkarakter perdata. Kompensasi diminta oleh korban dalam bentuk permohonan dan apabila dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara).
Kebijakan terhadap perlindungan kepentingan korban merupakan bagian yang integral dari usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur tangan secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap nasib korban secara kongkrit dan individual, salah satunya adalah dalam bentuk kompensasi.[7]
Dalam kaitan ini, Arif Gosita[8] menulis alasan-alasan utama ganti kerugian (kompensasi) kepada korban oleh negara antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya;
2.      Tidak cukupnya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku pada korban;
3.      Ketidaklayakan pembahagian hasil;
4.      Pandangan Sosiologi bahwa terjadinya perbuatan pidana adalah merupakan kesalahan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan PP No. 3 Tahun 2002 Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. 
Dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban, dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban perbuatan pidana, karena negara adalah yang paling berkewajiban untuk memperhatikan keadaan warganya. Negara, melalui aparaturnya, berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah perbuatan pidana yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula.

Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun menurut Stephen Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa kompensasi lebih bersifat keperdataan.
Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan Pengadilan dan dibayar oleh terpidana atau merupakan bentuk pertanggungjawapan terpidana (the responsibility of the offender).[9]
Lebih lanjut Stephen Schafer menyatakan terdapat lima system pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:
1.             ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. System ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses peradilan pidana;
2.             kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana;
3.             Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana.
Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya. 
Salah satu bentuk restitusi menurut system ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan di samping pidana yang seharusnya diberikan.
4.             Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan Pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.[10]
Di Indonesia lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian kompensasi tehadap korban kejahatan dalam hal ini dibebankan pada LPSK.

III.        RESTITUSI DAN KOMPENSASI TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG
A.           RESTITUSI KORBAN PERDAGANGAN ORANG
Restitusi atau ganti kerugian sangat penting bagi mereka yang menjadi korban tindak pidana perdagaan orang. Pemberian restitusi diatur secara jelas dalam Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Selain diatur dalam Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007, restitusi bagi korban TPPO juga diatur dalam Pasal 7A UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Restitusi disini merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku. Dalam Pasal 6 UU No 31 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa korban TPPO berhak mendapatkan bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Restitusi diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban akibat terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Menurut ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 berupa ganti kerugian atas:[11]
a.             Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b.             Penderitaan;
c.             Biaya untuk tindakan perawatan medis dan atau psikologis; dan/atau
d.            Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang yang meliputi:
a)             Kehilangan harta kekayaan;
b)             Biaya transportasi dasar;
c)             Biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; dan/atau
d)            Kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.
Dalam penerapannya, restitusi sulit dilakukan karena adanya beberapa kendala atau faktor yang mempengaruhinya antara lain dari undang-undangnya sendiri, faktor sumber daya manusia, dan korbannya sehingga diperlukan keterpaduan para penegak hukum agar dapat meringankan beban dari korban dari tindak pidana perdagangan orang.
Restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban perdagangan orang, dalam permohonannya dapat dilakukan dengan dua cara:[12]
a.             Korban mengajukan restitusi sejak korban melaporkan kasus pidana ke Polisi setempat;
b.             Korban dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendiri gugatan perdata atas kerugiannya ke Pengadilan Negeri setempat.

B.            KOMPENSASI KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA
Kompensasi terhadap korban perdagangan manusia yaitu bentuk ganti kerugian yang dibayarkan oleh negara kepada korban tindak pidana perdagangan orang.
Kompensasi merupakan bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban tindak pidana yang pelakunya tidak mampu membayar karena:
1.             Pelaku meninggal dunia;
2.             Tindak pidana yang kasusnya tidak terungkap;
3.             Tindak pidana yang pelakunya tidak terungkap atau melarikan diri;
4.             Pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana;
Kompensasi lebih bersifat perdata yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh negara sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.
Di dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak mengatur tentang kompensasi, hanya mengatur mengenai restitusi dan rehabilitasi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. UU No. 21 Tahun 2007 tidak mengatur mengenai kompensasi karena kompensasi diberikan oleh negara kepada korban tindak pidana karena negara gagal melaksanakan tugasnya yaitu melindungi seluruh masyarakat dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.
Dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa kompensasi hanya dapat diberikan terhadap korban tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM.
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa tidak ada kompensasi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang karena kompensasi hanya diberikan oleh negara terhadap korban tindak pidana pelanggaran HAM dan terorisme.

C.            PERLINDUNGAN HUKUM LAINNYA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Selain kompensasi dan restitusi, ada juga bentuk perlindungan hukum lainnya terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yaitu antara lain:
1.             Pusat pelayanan terpadu
Di dalam negeri, perlindungan dalam bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termasuk penampungan dan pemulangan ke daerah asal korban, menjadi tanggung jawab sektor-sektor sesuai dengan tugas dan fungsinya.
2.             Rumah perlindungan sosial anak
Rumah perlindungan sosial anak memberikan layanan perlindungan, pemulihan kesehatan fisik dan psikologis, pengembangan relasi sosial dan mewujudkan situasi kehidupan dan lingkungan yang mendukung keberfungsian sosial dan mencegah terulangya tindak kekerasan dan pelakuan salah terhadap anak.
3.             Pelayanan perempuan dan anak
4.             Pemulangan korban perdagangan manusia
5.             Women’s critis center, trauma center, shelter atau drop in center
6.             Bantuan hukum
Kepada korban perdagangan orang juga diberikan layanan bantuan hukum dan pendampingan hukum berkaitan dengan masalahnya dan kedudukan yang seringkali diminta menjadi saksi bagi pelaku perdagangan manusia yang telah berbuat jahat kepadanya. Disamping bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah, masyarakat juga diharapkan dapat juga ikut berpartisipasi dalam memberikan bantuan hukum kepada korban seperti lembaga berbadan hukum yang mana disamping aktif memberikan bantuan hukum kepada korban juga memberikan sosialisasi dan advokasi kepada para penegak hukum agar menuntut dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku perdagangan manusia.









BAB III
PENUTUP

I.              KESIMPULAN
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Terhadap korban tindak pidana perdagangan orang terdapat perlindungan hukum yaitu restitusi dan bentuk perlindungan hukum lainnya. Namun disini, perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang tidak terdapat ganti kerugian oleh negara atau yang disebut kompensasi. Karena dalam UU No. 21 Tahun 2007 tidak mengatur tentang kompensasi, sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa kompensasi hanya diberikan kepada korban tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM.












DAFTAR PUSTAKA
Arif, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Gosita, Arif. 1987. Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co
Schafer, Stephen. 1968. The Victim and Criminal, Random House. New York
Hendriana, Rani. 2015. Materi Viktimologi.Purwokerto: Fakultas hukum Unsoed
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban




[1] Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
[2] Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia
[3] Materi Viktimologi, Rani Hendriana, S.H., M.H.
[4] Nur Aisah, Restitusi dan Kompensasi terhadap Korban Kejahatan dalam Perspektif Kebijakan Kriminal, Abstraksi, Universitas Muhammadiyah Malang (http://eprints.umm.ac.id/3538/)
[5]    Penjelasan Pasal 6 huruf b UU No. 13 Tahun 2006: “ yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban
[6]  http://business-law.binus.ac.id/2014/08/20/pemberian-restitusi-bagi-korban-tindak-pidana-dalam-sistem-peradilan-pidana-indonesia/
[7]  Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Cetakan Pertama, Hal. 2
[8] Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987, Cetakan Pertama, Hal. 25
[9] Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, halaman 112
[10]    Stephen Schafer, 1968. Ibid, Hal 105-109
[11]   Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Studi tentang Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang berkaitan dengan Perlindungan Hak-hak korban, 2008
[12] International Organization for Migration hlm. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUKUM

lebih prioritaskan keluarga suami daripada istrinya sendiri

 lagi pengen curhat tapi yang orang terdekat gak tau. ya udah cerita disini aja. ada yang punya pengalaman sama gak sih? lagi viral juga soa...

BACA JUGA