Selasa, 26 April 2016

HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN HKP PERWALIAN ANAK

PERWALIAN ANAK AKIBAT ORANG TUA MENINGGAL DUNIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG
Di Indonesia banyak anak-anak dibawah umur yang harus kehilangan kedua orang tuanya karena putusnya perkawinan diantara kedua orang tua yaitu karena meninggal dunia ataupun karena perceraian, sebagaimana dalam Pasal  38 UU No.1 th 1974 jo pasal 113 KHI dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:
a.       Cerai mati adalah kematian salah satu pihak dari suami-isteri.
b.      Cerai hidup, terdiri dari : cerai talak, dan atas putusan Pengadilan (cerai gugat).
Apabila putus perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka salah satu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.  (Pasal 41 UUP No. 1 Th 1974 ), karena anak tersebut merupakan ahli waris dari harta yang dimiliki kedua orang tuanya ketika mereka masih terikat perkawinan dan atau salah satu dari orang tuanya meninggal dunia kewajiban tersebut berlaku sampai anak sudah berumur 21 tahun atau sudah mandiri (telah melakukan perkawinan)(pasal 45 (2) UUP No.1 Th 1974 ).
Disamping juga anak membutuhkan perwalian, hal ini disebabkan karena perwalian adalah hak bagi anak yang masih kecil, yang membutuhkan pengawasan, penjagaan, pendidikan dan pelaksana urusannya.
Terhadap anak dibawah umur di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak serta perwalian terhadap anak yang tidak dibawah pengampuan orang tuanya antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Burgerlijk Wetboek (BW) dan UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam kasus seorang anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tua dianggap tidak cakap mengurus anak, maka hukum mengatur dengan adanya perwalian. Apabila seorang anak dibawah umur tidak dibawah pengampuan orang tua atau tidak mempunyai orang tua karena meninggal dunia maka akan ada pihak lain yang menggantikan peran orang tuanya dalam melakukan pengasuhan dan perlindungan terhadap anak baik terhadap pribadi anak maupun terhadap harta bendanya tersebut yaitu dengan  adanya Wali atau perwalian .
Perwalian anak sebagai mana diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu terdapat pada BAB XI pasal 50 sampai 54. Wali yang dimaksud tidak hanya berperan sebagai wali yang mengurus pribadi si anak yang berupa pengasuhan dan perlindungan tetapi juga melakukan perwalian yang menyangkut harta benda si anak seperti yang dijelaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “perwalian itu mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”

B.            RUMUSAN MASALAH
1.             Siapakah yang dimaksud anak?
2.             Apakah yang dimaksud perwalian menurut UU No.1 Tahun 1974?
3.             Apa saja syarat memeroleh perwalian bagi anak yang orang tuanya meninggal dunia?
4.             Siapakah yang berhak menjadi wali apabila orang tua si anak telah meninggal dunia?

C.           TUJUAN
1.             Agar pembaca mengetahui siapa yang dimaksud anak;
2.             Agar pembaca mengetahui yang dimaksud perwalian menurut UU No.1 Tahun 1974;
3.             Agar pembaca mengetahui syarat-syarat memperoleh perwalian;
4.             Agar pembaca mengetahui siapa yang berhak menjadi wali apabila orang tua si anak telah meninggal dunia.





























BAB II
PEMBAHASAN

A.           DEFINISI ANAK
Dalam bahasa Arab anak disebut walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya kearah abadi Allah yang saleh[1].
Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti sebagai berikut:
1.             Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan orang dewasa;
2.             Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya[2].
Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan.
Untuk meletakkan anak dalam pengertian sebagai subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur eksternal maupun internal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.             Unsur internal
Yaitu anak sebagi subjek hukum atau sebagai manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seorang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum.
b.             Unsur eksternal
Unsur eksternal didasarkan pada ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum. Equality Before The Law dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakkan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan.

B.            KEDUDUKAN ANAK
Jika dilihat dalam lingkungan hukum Adat, Hukum Islam, maupun KUHPerdata anak-anak dari si peninggal warisan adalah merupakan golongan yang terpenting dan yang utama.
Dr. Wirjono dalam bukunya Hukum Waris Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa oleh karena mereka (anak-anak) pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak[3].
Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan, menurut hukum, dengan yanng menikahinya. Oleh karena itu anak hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga dari ibunya, seperti dikatakan SA Hakim, SH. di dalam Hukum Adat Perorangan, Perkawinan dan Pewarisan[4].



C.           BATASAN USIA ANAK
Batasan usia anak masih mempunyai ketidak seragaman pendapat, baik itu pendapat pakar maupun perundang-undangan yang berlaku. Muhammad Hasan Wadong menyebutkan batas usia anak dapat dikelompokkan yaitu “ pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak tersebut”.[5]
Sedangkan menurut perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut, untuk meletakkan batas usia seorang anak diantaranya:
a.              Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pasal 330 ayat 1 menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan usia telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali anak tersebut telah kawin sebelum usia 21 tahun atau karena pendewasaan (Venia Aetatis). Pendewasaan yang dimaksud adalah yanng tertera dalam pasal 419 BW “dengan melaukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atas belehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan surat-surat pernyataan dewasa (venia Aetatis) yang diberikan oleh Presiden setelah mendengarkan nasehat dari Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di dalam Pasal 420 BW.
Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa batasan umur anak adalah mereka yang belum berumur 21 Tahun, hal ini merupakan pembatasan yang jelas dan tegas disebutkan tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.
b.             Dalam Hukum Adat dan Hukum Islam
Menurut Soerjono Soekanto “ seorang anak dipandang sebagai suatu keturunan masyarakat, yang merupakan keturunan dari kedua orang tuanya sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya.”[6]
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seorang anak dianggap dewasa dan wenang bertindak. Dimana ukuran dewasa seseorang dapat diukur sebagai berikut:
a)             Kemandirian seseorang anak (telah bekerja)
b)            Cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggungjawab
c)             Dapat mengurus harta kekayaan sendiri
Menurut Ter Haar “ laki-laki atau perempuan dianggap telah cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum adalah mereka yang telah dewasa, dalam hal ini berarti mereka telah menikah dan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap di rumah sendiri dan menjadi keluarga yang mandiri atau berdiri sendiri.”[7]
c.              Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara langsung tentang anak namun secara tersirat dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) “ untuk melakukan suatu perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin dari orang tuanya.”
Pasal 7 ayat (1) “ perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan “bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melakukan pernikahan berada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya”.

D.           PENGERTIAN WALI DAN PERWALIAN
Secara etimologi (bahasa), kata “perwalian” berasal dari kata “wali”, dan jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam perwalian disebut dengan “Al-walayah” (orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.[8]
Menurut Prof Subekti, Perwalian berasal dari kata wali yag mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum.
Sebuah ikatan perkawinan yang sudah putus menurut Prof. Subekti, S.H., arti perwalian adalah:
1.      Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaanya sebagai orang tua;
2.      Anak sah yang orang tuanya telah bercerai;
3.      Anak sah yang lahir di luar perkawinan.
Dalam kamus hukum, perkataan Wali dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perwalian ini diatur dalam Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan “ anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, dibawah kekuasaan wali”. Dan pasal 50 ayat (2) yang berbunyi “ perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Dalam tiap perwalian di Indonesia, Balai Harta Peninggalan (weeskamen) menurut Undang-undang menjadi wali pengawas. Supaya Balai Peninggalan dapat melakukan tugasnya, maka tiap orang tua yang menjadi wali harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian kepada Balai Harta Peninggalan.
Begitu Pula apabila hakim mengangkat seorang wali, panitera pengadilan harus segera memberitahukan hal itu kepada Balai Harta Peninggalan. Di Indonesia, Balai Harta Peninggalan ini ada di Jakarta, Semarang, suraaya, Medan, dan Ujung Pandang.[9]

E.            SYARAT-SYARAT MENJADI WALI DAN MEMPEROLEH PERWALIAN
Menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) UU No.1 Thaun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
a.              Anak (laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun);
b.             Anak-anak yang belum kawin;
c.              Anak tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tua;
d.             Anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan wali;
e.              Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 pasal 51, perwalian dapat diperoleh:
1.             Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi;
2.             Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
Jadi berdasarkan Pasal 51 UU No.1 Tahun 1974, seseorang yang dapat menjadi wali adalah:
1)             Apabila ditunjuk oleh orang tua si anak dengan surat wasiat untuk menjadi wali dari anaknya yang disampaikan sebelum meninggal dunia;
2)             Wali tersebut bisa dari keluarga si anak ataupun orang lain di luar keluarganya, dengan syarat:
a.             Sudah dewasa;
b.             Berpikir/berakal sehat;
c.             Adil;
d.            Jujur, dan
e.             Berkelakuan baik.

F.            KEWAJIBAN WALI
Berdasarkan  UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diketahui kewajiban seorang Wali sebagai berikut:
1.             Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya (Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974);
2.             Wali wajib menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974);
3.             Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut (Pasal 51 ayat (4) UU No. 1 Tahun 1974);
4.             Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya ( Pasal 51 ayat (5) UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974).[10]
G.           LARANGAN BAGI WALI
Pasal 52 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 UU ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindah tangankan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
H.           PENCABUTAN KEKUASAAN WALI
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal:
a.              Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut;
b.             Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Sebagaimana bunyi pasal 53 UU No.1 Tahun 1974 ayat (1) “ wali dapat dicabut kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.”
Pasal 49 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 “salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.              Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.             Ia berkelakuan buruk sekali.”
Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 “ meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.”
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan akan menunjuk orang lain sebagai wali berdasarkan pasal 53 ayat (2) yang berbunyi “ dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.”[11]
Sedangkan dalam hal wali menyebabkan kerugian pada harta benda si anak, maka pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan “ wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.”
I.              PERWALIAN TERHADAP ANAK AKIBAT ORANG TUANYA MENINGGAL DUNIA
Berdasarkan pada penjelasan diatas mengenai anak dan perwalian, maka dapat dijelaskan bagaimana perwalian terhadap anak yang diakibatkan orang tuanya meninggal dunia menurut UU No. 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:
1.             Anak yang berada dibawah perwalian adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan.
Anak dibawah 18 tahun dianggap belum mampu untuk mengurusi keperluannya sendiri baik pribadi maupun mengurusi harta bendanya, dan masih bergantung pada orang tua. Sedangkan diatas 18 tahun dan atau sudah pernah melakukan perkawinan dianggap telah dewasa karena mampu untuk bertanggung jawab menghidupi diri sendiri secara pribadi, keluarga, dan mampu mengurusi harta kekayaan yang diperoleh si anak dari warisan sebelum orang tuanya meninggal dunia.
2.             Bagi seorang wali tidak hanya mengurusi dan melindungi pribadi si anak tetapi juga harta bendanya sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974.
Jadi seorang wali bertanggung jawab atas Harta benda si anak yang diperoleh dari warisan orang tuanya sebelum meninggal dunia, wali harus mengatur dan menjaga harta bendanya dan tidak untuk dipakai sendiri, sebagimana terdapat dalam pasal 52 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “ terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-Undang ini.” Dan pasal 48 berbunyi “ orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”.
Selain itu seorang wali juga mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan yang di anut oleh anak yang dibawah pengampuannya tersebut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 “ wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.” Karena wali bertanggung jawab terhadap harta benda si anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian wali sendiri. Untuk itu wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya/perwaliannya pada waktu memulainya jabatan wali dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya berdasarkan Pasal 51 ayat (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Apabila seorang wali menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaanya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut, hal ini berdasarkan Pasal 54 UU No. 1 tahun 1974.
3.             Bagi seorang anak yang tidak dalam pengampuan orang tuanya diakibatkan orang tuanya meninggal dunia maka anak tersebut berada di bawah perwalian, dan perwalian tersebut menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 51 ayat (1) berbunyi “ wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.”
Prinsip yang terlihat dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 di atas, adalah anak yang belum dewasa menjadi tanggung jawab orang tua atau berada di bawah kekuasaan orang tua, selama perkawinan dan masih berlangsung walau perkawinan putus (bisa karena kematian, perceraian, atau keputusan Pengadilan); maka yang dapat menunjuk wali adalah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, artinya dari kata yang digunakan adalah satu orang tua, dapat ditafsirkan bahwa orang tua lainnya (yang satunya) sudah tidak ada lagi.[12]
Berdasarkan ayat di atas maka jelas bahwa penunjukan wali untuk menjadi wali dari si anak yang orang tuanya meninggal dunia:
1)            Dengan surat wasiat,
Sebelum orang tua meninggal dunia, ia memberikan surat wasiat untuk menyerahkan anaknya kepada salah satu orang yang ditunjuk baik dari keluarga maupun dari luar keluarga yang dipercaya untuk menjadi walinya dengan syarat orang yang menjadi wali tersebut berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik dengan dibuktikan hakim di pengadilan.
2)            Dengan lisan,
Apabila salah satu orang tua sebelum meninggal menunjuk salah satu orang untuk menjadi walinya dengan lisan, apabila ucapannya tersebut di saksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi maka orang yang ditunjuk sebagai wali tersebut oleh pengadilan dapat diizinkan menjadi wali.










BAB III
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa perwalian diberikan kepada anak dibawah umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan yang tidak berada dibawah pengampuan orang tua maka dibawah perwalian.
Perwalian dapat diperoleh apabila orang tua si anak telah bercerai atau meninggal dunia atau kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaanya sebagai wali.
Seorang wali tidak hanya mengurusi pribadi si anak yang dibawah perwaliannya tetapi juga mengurus harta benda si anak dan tidak untuk dipakai sendiri melainkan harta benda tersebut dipakai untuk kepentingan si anak apabila menghendaki.
Seorang anak akibat salah satu atau kedua orang tuanya meninggal dunia maka anak tersebut dibawah perwalian orang lain yang diperoleh dengan wasiat orang tuanya sebelum meninggal dunia ataupun dengan putusan pengadilan yang menetapkan seseorang menjadi wali dari si anak tersebut.
Pewalian akan berakhir apabila anak tersebut telah dewasa atau berumur 18 tahun ataupun telah melakukan perkawinan.







DAFTAR PUSTAKA

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, S.H,. 1986. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni.
Soimin, Soedaryo, S.H,. 1992. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat, BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, Trusto, S.H, MHUM,. 2014. Diktat Hukum Keluarga dan Perkawinan.
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1520/1/perdata-sunarto2.pdf (diakses 10 September 2014)





[1] Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,  Hal. 81
[2] Ibid, Hal.83
[3] Soedaryo Soimin,S.H, 1992, Hukum Orang Dan Keluarga, Jakarta:Sinar Grafika, Hal 34
[4] Ibid Hal 43
[5] Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal 14-15
[6] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Graindo Persada, Jakarta, 2002, hal.42

[7] B. Ter Haar, Asas-Asas Dan Sususnan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1985,
hal.166
[8] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001 hal. 134
[9] Prof. Subekti SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hal 44
[10] Trusto Subekti, SH, Mhum.,2014,  Diktat hukum Keluarga dan Perkawinan Hal 129
[11] UU No. 1 Tahun 1974, pasal 53 ayat (2)
[12] Trusto Subekti, SH, MHUM.,2014, Diktat Hukum Keluarga dan Perkawinan, Hal 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUKUM

lebih prioritaskan keluarga suami daripada istrinya sendiri

 lagi pengen curhat tapi yang orang terdekat gak tau. ya udah cerita disini aja. ada yang punya pengalaman sama gak sih? lagi viral juga soa...

BACA JUGA