BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di Indonesia
banyak anak-anak dibawah umur yang harus kehilangan kedua orang tuanya karena
putusnya perkawinan diantara kedua orang tua yaitu karena meninggal dunia
ataupun karena perceraian, sebagaimana dalam Pasal 38 UU No.1 th 1974 jo pasal 113 KHI
dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:
a. Cerai mati adalah kematian salah satu pihak dari suami-isteri.
b. Cerai hidup, terdiri dari : cerai talak, dan atas putusan
Pengadilan (cerai gugat).
Apabila putus
perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka salah satu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
(Pasal 41 UUP No. 1 Th 1974 ), karena anak tersebut merupakan ahli waris
dari harta yang dimiliki kedua orang tuanya ketika mereka masih terikat
perkawinan dan atau salah satu dari orang tuanya meninggal dunia kewajiban
tersebut berlaku sampai anak sudah berumur 21 tahun atau sudah mandiri (telah
melakukan perkawinan)(pasal 45 (2) UUP No.1 Th 1974 ).
Disamping juga anak membutuhkan perwalian, hal ini disebabkan karena perwalian adalah hak bagi anak yang masih kecil, yang membutuhkan pengawasan, penjagaan, pendidikan dan pelaksana urusannya.
Disamping juga anak membutuhkan perwalian, hal ini disebabkan karena perwalian adalah hak bagi anak yang masih kecil, yang membutuhkan pengawasan, penjagaan, pendidikan dan pelaksana urusannya.
Terhadap anak
dibawah umur di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perlindungan anak serta perwalian terhadap anak yang tidak
dibawah pengampuan orang tuanya antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata/ Burgerlijk Wetboek (BW) dan UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam kasus
seorang anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tua dianggap tidak cakap
mengurus anak, maka hukum mengatur dengan adanya perwalian. Apabila seorang
anak dibawah umur tidak dibawah pengampuan orang tua atau tidak mempunyai orang
tua karena meninggal dunia maka akan ada pihak lain yang menggantikan peran
orang tuanya dalam melakukan pengasuhan dan perlindungan terhadap anak baik
terhadap pribadi anak maupun terhadap harta bendanya tersebut yaitu dengan adanya Wali atau perwalian .
Perwalian anak sebagai mana diatur
dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu terdapat pada BAB XI pasal 50
sampai 54. Wali yang dimaksud tidak hanya berperan sebagai wali yang mengurus
pribadi si anak yang berupa pengasuhan dan perlindungan tetapi juga melakukan
perwalian yang menyangkut harta benda si anak seperti yang dijelaskan dalam
pasal 50 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “perwalian
itu mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Siapakah
yang dimaksud anak?
2.
Apakah
yang dimaksud perwalian menurut UU No.1 Tahun 1974?
3.
Apa
saja syarat memeroleh perwalian bagi anak yang orang tuanya meninggal dunia?
4.
Siapakah
yang berhak menjadi wali apabila orang tua si anak telah meninggal dunia?
C.
TUJUAN
1.
Agar
pembaca mengetahui siapa yang dimaksud anak;
2.
Agar
pembaca mengetahui yang dimaksud perwalian menurut UU No.1 Tahun 1974;
3.
Agar
pembaca mengetahui syarat-syarat memperoleh perwalian;
4.
Agar
pembaca mengetahui siapa yang berhak menjadi wali apabila orang tua si anak
telah meninggal dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI ANAK
Dalam bahasa
Arab anak disebut walad, satu kata yang mengandung penghormatan,
sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya kearah abadi Allah
yang saleh[1].
Dengan
memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti sebagai berikut:
1.
Anak
diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan orang dewasa;
2.
Anak
memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para
pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari
dunianya serta dimensi dan prospeknya[2].
Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah
dari sisi pandang sentralistis kehidupan.
Untuk meletakkan anak dalam pengertian sebagai subjek hukum maka
diperlukan unsur-unsur eksternal maupun internal di dalam ruang lingkup untuk
menggolongkan status anak tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.
Unsur internal
Yaitu anak
sebagi subjek hukum atau sebagai manusia, anak juga digolongkan sebagai Human
Right yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seorang
yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Anak juga mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum.
b.
Unsur
eksternal
Unsur eksternal
didasarkan pada ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum. Equality
Before The Law dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai
seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakkan ketentuan
hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan
berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan.
B.
KEDUDUKAN ANAK
Jika dilihat dalam lingkungan hukum Adat, Hukum Islam, maupun
KUHPerdata anak-anak dari si peninggal warisan adalah merupakan golongan yang
terpenting dan yang utama.
Dr. Wirjono dalam bukunya Hukum Waris Indonesia, antara lain
menyebutkan bahwa oleh karena mereka (anak-anak) pada hakekatnya merupakan
satu-satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak
menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak[3].
Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan
kekeluargaan, menurut hukum, dengan yanng menikahinya. Oleh karena itu anak hanya
mewarisi dari ibunya dan keluarga dari ibunya, seperti dikatakan SA Hakim, SH.
di dalam Hukum Adat Perorangan, Perkawinan dan Pewarisan[4].
C.
BATASAN USIA ANAK
Batasan usia anak masih mempunyai
ketidak seragaman pendapat, baik itu pendapat pakar maupun perundang-undangan
yang berlaku. Muhammad Hasan Wadong menyebutkan batas usia anak dapat
dikelompokkan yaitu “ pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak
dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa
atau dapat menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri
terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak tersebut”.[5]
Sedangkan menurut perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari
pembatasan usia anak ini didasari dari maksud dan tujuan dari masing-masing
peraturan perundang-undangan tersebut, untuk meletakkan batas usia seorang anak
diantaranya:
a.
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pasal 330 ayat
1 menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan usia
telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali anak tersebut
telah kawin sebelum usia 21 tahun atau karena pendewasaan (Venia Aetatis).
Pendewasaan yang dimaksud adalah yanng tertera dalam pasal 419 BW “dengan
melaukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atas
belehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang mana perlu
atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan surat-surat
pernyataan dewasa (venia Aetatis) yang diberikan oleh Presiden setelah
mendengarkan nasehat dari Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di dalam Pasal
420 BW.
Dari ketentuan
yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa batasan umur anak
adalah mereka yang belum berumur 21 Tahun, hal ini merupakan pembatasan yang jelas
dan tegas disebutkan tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.
b.
Dalam
Hukum Adat dan Hukum Islam
Menurut
Soerjono Soekanto “ seorang anak dipandang sebagai suatu keturunan masyarakat,
yang merupakan keturunan dari kedua orang tuanya sehingga anak tersebut
mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun
ibunya.”[6]
Menurut hukum
adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seorang anak dianggap dewasa dan
wenang bertindak. Dimana ukuran dewasa seseorang dapat diukur sebagai berikut:
a)
Kemandirian
seseorang anak (telah bekerja)
b)
Cakap
untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bertanggungjawab
c)
Dapat
mengurus harta kekayaan sendiri
Menurut Ter Haar “ laki-laki atau perempuan dianggap telah cakap untuk
melakukan suatu perbuatan hukum adalah mereka yang telah dewasa, dalam hal ini
berarti mereka telah menikah dan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap di
rumah sendiri dan menjadi keluarga yang mandiri atau berdiri sendiri.”[7]
c.
Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara langsung tentang anak namun
secara tersirat dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) “ untuk melakukan suatu
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin
dari orang tuanya.”
Pasal 7 ayat (1)
“ perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47
ayat (1) menyebutkan “bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah melakukan pernikahan berada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka
tidak dicabut kekuasaan orang tuanya”.
D.
PENGERTIAN WALI DAN PERWALIAN
Secara
etimologi (bahasa), kata “perwalian” berasal dari kata “wali”, dan jamak
“awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien,
sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam perwalian disebut dengan “Al-walayah”
(orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni
orang yang mempunyai kekuasaan.[8]
Menurut Prof
Subekti, Perwalian berasal dari kata wali yag mempunyai arti orang lain selaku
pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum
dewasa atau belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum.
Sebuah ikatan
perkawinan yang sudah putus menurut Prof. Subekti, S.H., arti perwalian adalah:
1.
Anak
sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaanya sebagai orang tua;
2.
Anak
sah yang orang tuanya telah bercerai;
3.
Anak
sah yang lahir di luar perkawinan.
Dalam kamus
hukum, perkataan Wali dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili. Dalam
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perwalian ini diatur dalam Pasal 50 ayat
(1) yang menyebutkan “ anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua, dibawah kekuasaan wali”. Dan pasal 50 ayat (2) yang berbunyi “
perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Dalam tiap
perwalian di Indonesia, Balai Harta Peninggalan (weeskamen) menurut
Undang-undang menjadi wali pengawas. Supaya Balai Peninggalan dapat melakukan
tugasnya, maka tiap orang tua yang menjadi wali harus segera melaporkan tentang
terjadinya perwalian kepada Balai Harta Peninggalan.
Begitu Pula apabila hakim mengangkat
seorang wali, panitera pengadilan harus segera memberitahukan hal itu kepada
Balai Harta Peninggalan. Di Indonesia, Balai Harta Peninggalan ini ada di
Jakarta, Semarang, suraaya, Medan, dan Ujung Pandang.[9]
E.
SYARAT-SYARAT MENJADI WALI DAN MEMPEROLEH PERWALIAN
Menurut
ketentuan pasal 50 ayat (1) UU No.1 Thaun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
a.
Anak
(laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun);
b.
Anak-anak
yang belum kawin;
c.
Anak
tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tua;
d.
Anak
tersebut tidak berada di bawah kekuasaan wali;
e.
Perwalian
menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 pasal 51, perwalian dapat diperoleh:
1.
Wali
dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang
saksi;
2.
Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
Jadi
berdasarkan Pasal 51 UU No.1 Tahun 1974, seseorang yang dapat menjadi wali
adalah:
1)
Apabila
ditunjuk oleh orang tua si anak dengan surat wasiat untuk menjadi wali dari
anaknya yang disampaikan sebelum meninggal dunia;
2)
Wali
tersebut bisa dari keluarga si anak ataupun orang lain di luar keluarganya,
dengan syarat:
a.
Sudah
dewasa;
b.
Berpikir/berakal
sehat;
c.
Adil;
d.
Jujur,
dan
e.
Berkelakuan
baik.
F.
KEWAJIBAN WALI
Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat
diketahui kewajiban seorang Wali sebagai berikut:
1.
Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya (Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974);
2.
Wali wajib menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51
ayat (3) UU No. 1 tahun 1974);
3.
Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru
bahan-perubahan harta benda anak tersebut (Pasal 51 ayat (4) UU No. 1 Tahun
1974);
4.
Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya
( Pasal 51 ayat (5) UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974).[10]
G.
LARANGAN BAGI WALI
Pasal 52 UU No.
1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 UU ini, yakni orang tua
dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindah tangankan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
H.
PENCABUTAN KEKUASAAN WALI
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal:
a.
Wali
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut;
b.
Wali
berkelakuan buruk sebagai walinya.
Sebagaimana bunyi pasal 53 UU No.1 Tahun 1974 ayat (1) “ wali dapat
dicabut kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang
ini.”
Pasal 49 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 “salah seorang atau kedua
orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.
Ia
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.
Ia
berkelakuan buruk sekali.”
Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 “ meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.”
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan akan menunjuk orang
lain sebagai wali berdasarkan pasal 53 ayat (2) yang berbunyi “ dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal ini oleh
Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.”[11]
Sedangkan dalam hal wali menyebabkan kerugian pada harta benda si
anak, maka pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan “ wali yang telah
menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas
tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang
bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.”
I.
PERWALIAN TERHADAP ANAK AKIBAT ORANG TUANYA MENINGGAL DUNIA
Berdasarkan
pada penjelasan diatas mengenai anak dan perwalian, maka dapat dijelaskan
bagaimana perwalian terhadap anak yang diakibatkan orang tuanya meninggal dunia
menurut UU No. 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:
1.
Anak
yang berada dibawah perwalian adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melakukan perkawinan.
Anak dibawah 18 tahun dianggap belum mampu untuk mengurusi
keperluannya sendiri baik pribadi maupun mengurusi harta bendanya, dan masih
bergantung pada orang tua. Sedangkan diatas 18 tahun dan atau sudah pernah
melakukan perkawinan dianggap telah dewasa karena mampu untuk bertanggung jawab
menghidupi diri sendiri secara pribadi, keluarga, dan mampu mengurusi harta
kekayaan yang diperoleh si anak dari warisan sebelum orang tuanya meninggal
dunia.
2.
Bagi
seorang wali tidak hanya mengurusi dan melindungi pribadi si anak tetapi juga
harta bendanya sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974.
Jadi seorang
wali bertanggung jawab atas Harta benda si anak yang diperoleh dari warisan
orang tuanya sebelum meninggal dunia, wali harus mengatur dan menjaga harta
bendanya dan tidak untuk dipakai sendiri, sebagimana terdapat dalam pasal 52 UU
No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “ terhadap wali berlaku juga pasal 48
Undang-Undang ini.” Dan pasal 48 berbunyi “ orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”.
Selain itu
seorang wali juga mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang dibawah
penguasaannya dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya dengan menghormati agama
dan kepercayaan yang di anut oleh anak yang dibawah pengampuannya tersebut,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 “ wali wajib
mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.” Karena wali bertanggung
jawab terhadap harta benda si anak yang berada di bawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian wali sendiri. Untuk
itu wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya/perwaliannya pada waktu memulainya jabatan wali dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya
berdasarkan Pasal 51 ayat (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Apabila seorang
wali menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaanya,
atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan,
yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut, hal ini
berdasarkan Pasal 54 UU No. 1 tahun 1974.
3.
Bagi
seorang anak yang tidak dalam pengampuan orang tuanya diakibatkan orang tuanya
meninggal dunia maka anak tersebut berada di bawah perwalian, dan perwalian
tersebut menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 51 ayat (1) berbunyi “ wali dapat
ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia
meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang
saksi.”
Prinsip yang
terlihat dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 di atas, adalah
anak yang belum dewasa menjadi tanggung jawab orang tua atau berada di bawah
kekuasaan orang tua, selama perkawinan dan masih berlangsung walau perkawinan
putus (bisa karena kematian, perceraian, atau keputusan Pengadilan); maka yang
dapat menunjuk wali adalah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
artinya dari kata yang digunakan adalah satu orang tua, dapat ditafsirkan bahwa
orang tua lainnya (yang satunya) sudah tidak ada lagi.[12]
Berdasarkan
ayat di atas maka jelas bahwa penunjukan wali untuk menjadi wali dari si anak
yang orang tuanya meninggal dunia:
1)
Dengan
surat wasiat,
Sebelum orang
tua meninggal dunia, ia memberikan surat wasiat untuk menyerahkan anaknya
kepada salah satu orang yang ditunjuk baik dari keluarga maupun dari luar
keluarga yang dipercaya untuk menjadi walinya dengan syarat orang yang menjadi
wali tersebut berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik dengan
dibuktikan hakim di pengadilan.
2)
Dengan
lisan,
Apabila salah
satu orang tua sebelum meninggal menunjuk salah satu orang untuk menjadi
walinya dengan lisan, apabila ucapannya tersebut di saksikan oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi maka orang yang ditunjuk sebagai wali tersebut oleh
pengadilan dapat diizinkan menjadi wali.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa perwalian
diberikan kepada anak dibawah umur 18 tahun atau belum pernah melakukan
pernikahan yang tidak berada dibawah pengampuan orang tua maka dibawah
perwalian.
Perwalian dapat
diperoleh apabila orang tua si anak telah bercerai atau meninggal dunia atau
kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaanya sebagai wali.
Seorang wali
tidak hanya mengurusi pribadi si anak yang dibawah perwaliannya tetapi juga
mengurus harta benda si anak dan tidak untuk dipakai sendiri melainkan harta
benda tersebut dipakai untuk kepentingan si anak apabila menghendaki.
Seorang anak
akibat salah satu atau kedua orang tuanya meninggal dunia maka anak tersebut
dibawah perwalian orang lain yang diperoleh dengan wasiat orang tuanya sebelum
meninggal dunia ataupun dengan putusan pengadilan yang menetapkan seseorang
menjadi wali dari si anak tersebut.
Pewalian akan
berakhir apabila anak tersebut telah dewasa atau berumur 18 tahun ataupun telah
melakukan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, S.H,.
1986. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni.
Soimin, Soedaryo, S.H,. 1992. Hukum
Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat, BW, Hukum Islam, dan Hukum
Adat. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, Trusto, S.H, MHUM,. 2014. Diktat
Hukum Keluarga dan Perkawinan.
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
http://hukum.jadilah.com/2011/11/perwalian-menurut-undang-undang-ri.html
(diakses 10 September 2014)
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1520/1/perdata-sunarto2.pdf
(diakses 10 September 2014)
http://student_research.umm.ac.id/index.php/department_of_syariah/article/view/7203
(diakses 22 September 2014)
[3] Soedaryo
Soimin,S.H, 1992, Hukum Orang Dan Keluarga, Jakarta:Sinar Grafika, Hal
34
[4] Ibid
Hal 43
[5] Maulana Hasan Wadong, Advokasi
Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal 14-15
[6]
Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Graindo Persada, Jakarta, 2002,
hal.42
[7]
B. Ter
Haar, Asas-Asas Dan Sususnan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1985,
hal.166
[8]
Muhammad
Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta,
2001 hal. 134
[9] Prof. Subekti
SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hal 44
[10] Trusto
Subekti, SH, Mhum.,2014, Diktat hukum
Keluarga dan Perkawinan Hal 129
[11] UU No. 1 Tahun
1974, pasal 53 ayat (2)
[12] Trusto
Subekti, SH, MHUM.,2014, Diktat Hukum Keluarga dan Perkawinan, Hal 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar