Kamis, 08 April 2021

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PERDATA PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) YANG TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM EKSEKUSI RIIL (Studi terhadap Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/Pn.Bkl)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya dan sebagai makhluk politik senantiasa hidup dalam organisasi. Interaksi sosial sesama manusia itu adakalanya menyebabkan konflik di antara mereka sehingga 1 (satu) pihak harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya.[1]

Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan, yakni suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan.[2] Suatu putusan pengadilan harus dijalankan atau dilaksanakan oleh pihak yang diperintah pengadilan dalam putusan tersebut.

Pada azasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.[3]

Pelaksanaan putusan yang tetap disebut juga dengan eksekusi. Pelaksanan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya dimulai.

Dalam hukum acara perdata dikenal tiga macam eksekusi, yaitu:[4]

a)             Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang;

b)             Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan;

c)             eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.

Dalam praktek ternyata banyak rintangan yang dapat menghambat pelaksanaan eksekusi, seperti halnya Derden Verzet, bantahan atau bahkan peninjauan kembali yang kemudian dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan eksekusi.[5] Derden Verzet atau perlawanan pihak ketiga, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh seseorang diluar pihak yang terdapat dalam suatu putusan dimana merasa dirugikan dengan adanya tindakan pengadilan berupa eksekusi. Pihak ketiga tersebut harus benar-benar dirugikan dan harus didasarkan pada hak milik.

Salah satu contoh perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan eksekusi terdapat dalam putusan pengadilan nomor 06/Pdt.Plw/2014/PN.BKL, dimana Suni sebagai Pelawan dan Asni alias Bok Sayuti sebagai Terlawan. Dalam perlawanannya, Pelawan adalah pemilik sah atas tanah yang terletak di Desa Sadah Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan yang kepemilikan dan penguasaan Pelawan atas tanah miliknya tersebut telah berlangsung terus menerus dan turun temurun. Terhadap tanah hak milik tersebut Pelawan mendalilkan bahwa Pengadilan Negeri Bangkalan melalui surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl, telah melaksanakan eksekusi diatas tanah milik Pelawan. Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut petugas telah menghancurkan dua bangunan rumah yang ditempati oleh anak-anak dari Terlawan. Eksekusi yang dilaksanakan oleh pihak Pengadilan dinyatakan sebagai upaya paksa/eksekusi atas putusan No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl, yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pelawan merasa khawatir Pelawan menjadi khawatir kejadian yang sama terulang kembali, mengingat adanya surat-surat sebagai berikut :

1.             Putusan No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl.,tanggal 20 Juli 1993, dengan para pihak ASNI alias BOK SAYUTI sebagai PENGGUGAT melawan BUALIM alias BUALIM, sebagai TERGUGAT, sama dengan Tergugat pada perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;

2.             Panggilan tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 25 Oktober 2012 ;-

3.             Panggilan tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember 2012 ;

Pelawan beranggapan putusan perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl merupakan putusan non eksekutable karena tidak disertai pernyataan adanya sita jaminan yang sah dan berharga atas objek sengketa, sehingga seharusnya menurut hukum apabila putusan hendak dieksekusi harus memenuhi tahapan sita eksekusi dan seharusnya melalui gugatan eksekusi.

Perlawanan pelawan terhadap permohonan eksekusi pihak Terlawan, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan No.21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl dan No.21/Pen.Pdt.G/ 1992/PN.Bkl, walaupun tahapan permohonan eksekusi Terlawan belum memasuki tahap sita eksekusi dan Pelawan sebenarnya bukanlah salah satu pihak dalam perkara tersebut serta tanah miliknya juga bukan objek gugatan dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka dalam petitumnya Pelawan meminta agar objek tanah Pelawan dinyatakan bukan objek sengketa dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl serta menyatakan batal penetapan Pengadilan Negeri Nomor 21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl.

Dalam putusannya hakim memutus bahwa Perlawanan Pelawan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukumnya bahwa Terlawan ternyata telah meninggal dunia, sehingga Perlawanan cacat formil.

Dari latar belakang diatas maka akan mengangkatnya dalam penulisan dengan judul: “PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) YANG TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM EKSEKUSI RIIL (Studi terhadap Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/Pn.Bkl)”.

B.            RUMUSAN MASALAH

1.             Bagaimana pertimbangan hukum hakim yang menyatakan perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) tidak dapat diterima terhadap eksekusi riil pada putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl?

2.             Bagaimana akibat hukum dengan tidak diterimanya perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) pelawan terhadap eksekusi riil pada putusan No. 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl?

 

C.           TUJUAN PENELITIAN

1.             Untuk mengetahui tentang pertimbangan hukum hakim dalam memutus perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) terhadap eksekusi riil pada putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl;

2.             Untuk mengetahui akibat hukum dengan tidak diterimanya perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) pelawan terhadap eksekusi riil pada putusan No. 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl.

D.           KERANGKA TEORI

1.             Perlawanan Pihak Ketiga

a.             Pengertian Perlawanan

Kata perlawanan mengandung kata “menentang” sesuatu sampai diperoleh hasil akhir yang pasti dalam bentuk kalah atau menang. Tujuan yang ingin dicapai dari upaya perlawanan adalah melawan secara formal dan resmi suatu penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan, supaya putusan atau penetapan itu lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan mengikat pada diri pelawan.

Perlawanan muncul ketika ada salah satu pihak merasa dirugikan atas putusan hakim tersebut, dimana dalam putusan hakim tersebut salah menerapkan hukum atau pada proses pemeriksaan majelis hakim kurang teliti dalam penerapan undang-undang sehingga dalam putusan tersebut melebihi apa yang dituntut oleh penggugat.

Upaya perlawanan timbul berdasarkan suatu penetapan dan ini mengindikasikan bahwa perlawanan muncul ketika adanya suatu penetapan sita jaminan oleh majelis hakim yang kemudian timbul perlawanan atas penetapan sita jaminan sehingga sifat dari perlawanan tidak dapat berdiri sendiri. Perlawanan merupakan hak tergugat atau pihak ketiga bukan sebagai kewajiban hukum, karena sifat dan fungsi dari perlawanan adalah bersifat fakultatif bukan bersifat imperatif.

Pihak tergugat atau pihak ketiga dalam hal ini dapat menggunakan hak perlawanan maupun tidak. Apabila tergugat atau pihak ketiga menggunakan perlawanan terhadap sita jaminan maka maksud perlawanan tersebut bukan sebagai itikad tidak baik. Ketentuan Pasal 195 (6) dan (7) HIR tersebut mengatur:

1)             Perlawanan terhadap sita eksekutorial;

2)             Diajukan oleh yang terkena eksekusi atau tersita;

3)             Diajukan pihak ketiga atas dasar hak milik;

4)             Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan;

5)             Adanya kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perlawanan itu untuk melaporkan atas pemeriksaan dan putusan perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.

Kemudian dalam Pasal 207 dan Pasal 208 HIR juga mengatur:

1)             Cara pengajuan perlawanan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;

2)             Perlawanan itu harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri;

3)             Adanya azas bahwa perlawanan tidak menangguhkan eksekusi;

4)             Pengecualian terhadap azas di atas;

5)             Kemungkinan untuk mengajukan banding;

b.             Pengertian Perlawanan Pihak Ketiga

Perlawanan pihak ketiga atau bantahan dikenal juga dengan istilah Derden Verzet. Perlawanan pihak ketiga sendiri merupakan perlawanan yang dilakukan oleh orang yang semula bukan pihak yang bersangkutan dalam berperkara dan hanya karena ia merasa berkepentingan, oleh karena ia merasa mengenai barang yang dipersengketakan atau barang yang sedang disita dalam perkara itu sebenarnya bukan kepunyaan dari tergugat, tetapi adalah milik pihak ketiga (M. Nur Rasaid, 2003:62).

Menurut Sudikno Mertokusumo (2002:237) perlawanan pihak ketiga mempunyai arti yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Adapun definisi lain yang disebutkan oleh Moh. Taufik Makarao mengenai bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat (Moh. Taufik Makarao, 2004:210).

Perlawanan pihak ketiga ini, digunakan oleh pihak ketiga untuk melawan putusan hakim, baik putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maupun perkara yang sedang dalam proses. Dasar hukum yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208 HIR. Pasal tersebut mengatakan ketentuan pasal diatas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah miliknya. Pasal yang dimaksud ketentuan diatas adalah Pasal 207 HIR yang berbunyi:

1)             Bantahan orang yang berutang tentang pelaksanaan putusan, baik dalam hal yang disita adalah barang yang tidak tetap, maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus diberitahukan oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat keenam Pasal 195; jika bantahan itu diberitahukan secara lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya,

2)             Kemudian perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil secara patut,

3)             Bantahan itu tidak dapat menunda pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali jika ketua memberikan perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan negeri. Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap sita jaminan harus benar-benar mempunyai kepentingan untuk meminta diangkatnya sita tersebut, karena sita tersebut merugikan haknya. Seperti penyitaan terhadap barang-barang yang digunakan dan dibutuhkan sehari-hari untuk menjalankan pekerjaan, hal ini diatur dalam Pasal 195 ayat 6 dan 7 HIR yang menegaskan apabila suatu penetapan tersebut dibantah karena penyitaan terhadap barang miliknya maka dapat mengajukan perlawanan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan dan terhadap sita eksekutorial harus didasarkan hak milik, yaitu bahwa barang yang disita itu adalah milik pihak ketiga. Pihak ketiga ini disebut pelawan atau pembantah, sedangkan penggugat semula, yang berdasarkan permohonan sita tersebut telah diletakkan, disebut “terlawan penyita”, dan tergugat semula disebut “terlawan tersita”. Apabila pihak ketiga berhasil membuktikannya, maka sita yang telah diletakkan sepanjang terhadap barang milik pihak ketiga itu akan diperintahkan oleh hakim untuk diangkat. Namun sebaliknya, apabila pelawan tidak dapat membuktikan atas barang yang disita itu adalah miliknya, maka sita akan tetap dipertahankan terhadap barang tersebut. Apabila perlawanan terhadap sita jaminan dilakukan setelah selesai pelaksanaan lelang atau penjualan barang sitaan, dalam hal ini perlawanan tidak dibenarkan dan pengadilan akan menolak perlawanan tersebut. Jalan yang ditempuh adalah mengajukan gugatan baru (Abdulkadir Muhammad, 2008: 242).

Terhadap perkara perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, karena laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan mengenai diteruskan atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpinnya. Pelaksanaan pemeriksaan dan dalam memutus perkara perlawanan ini dilakukan menurut acara biasa, sedang dasar pengajuannya dilakukan dengan berpedoman kepada pasal-pasal R.V. yang mengatur persoalan tersebut. Seperti pada Pasal 378 R.V. menyebutkan bahwa

“pihak-pihak ketiga berhak melakukan perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka yang sah menurut hukum, ataupun pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang pengadilan, atau karena penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak.”

 

c.             Prosedur Mengajukan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

 Prosedur-prosedur dalam mengajukan perlawanan pihak ketiga yang harus dilaksanakan yaitu (Rocky Marbun, 2011: 172) :

1)             Diajukan oleh pihak ketiga guna membela dan mempertahankan hak kepentingannya di pengadilam, bukan sebagai kewajiban;

2)             Pelawan bukan subjek yang terlibat langsung sebagai pihak dalam putusan yang dilawan;

3)             Pada Derden Verzet, pelawan harus menarik seluruh pihak yang terlibat dalam putusan yang dilawan. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila diabaikan mengandung cacat formal berupa error in persona yang dapat mengakibatkan putusan di N.O. (niet ont vankelijkverklaard) atau gugatan tidak dapat diterima;

4)             Tenggang waktu Derden Verzet dapat dikatakan luas tetapi juga dapat dikatakan sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun, yang membatasinya adalah eksekusi putusan. Kalau eksekusi itu cepat maka cepat pula habisnya tenggang waktu untuk mengajukan Derden Verzet. Apabila lambat maka lambat pula berakhirnya tenggang waktu untuk mengajukan Derden Verzet;

5)             Derden Verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru;

6)             Karena Derden Verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru, maka terpisah dari nomor perkara yang dilawan;

7)             Karena Derden Verzet itu sebagai perkara baru, yang menjadi bahan pemeriksaan adalah perlawanan pelawan. Bila terlawan membantah dalil pelawan maka pelawan berkewajiban membuktikan dalilnya.

2.             Eksekusi

a.             Pengertian eksekusi

Eksekusi didalam bahasa Inggris “Execution” adalah pelaksanaan putusan hakim (KUHP pasal 270).[6] Dalam HIR (Het Herzien Inland Reglement) pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan. Istilah menjalankan putusan mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. pelaksanaan putusan adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan/hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealilasilah prestasi sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan.[7]

Suatu putusan perkara perdata, tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan tanpa adanya eksekusi. Oleh karena itu, setiap putusan hakim haruslah dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai kekuatan eksekutorial.[8] Yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara. adanya kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan adalah karena dalam kepala putusan berbunyi “ Demi Keailan Berdasarkan Ketuhanan Yang  Maha Esa”. Akan tetapi tidak semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksanaan secara paksa, melainkan hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir.[9]

b.             Macam-Macam Eksekusi

Pelaksanaan putusan atau eksekusi pengadilan dalam perkara perdata dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

1)             Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang

Pelaksanaan putusan ini diatur dalam Pasal 197 HIR/208 RBg, yaitu dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.[10]

2)             Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan

Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR/259 RBg, yang menentukan bahwa apabila seseorang yang dihukum untuk melakukan sesuatu perbuatan tidak melakukannya dalam tenggang waktu yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada ketua pengadilan, agar perbuatan yang tidak dilakukan oleh pihak yang kalah itu dinilai dengan sejumlah uang.[11]

3)             Pelaksanaan putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.

Putusan ini disebut juga eksekusi riil, yang dimaksudkan eksekusi riil adalah putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak, terlebih dahulu ditegur untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut.[12]

Eksekusi riil dalam HIR pasal 200 (1)/218(2) Rbg hanya mengenai eksekusi riil dalam penjualan lelang, yang menyebutkan bahwa jika pihak yang kalah perkara tidak mau mengosongkan barang tidak bergerak yang telah dilelang, maka ketua pengadilan mengeluarkan surat perintah kepada petugas eksekusi dan bila perlu dengan bantuan polisi. Lebih jelasnya, eksekusi riil diatas diatur dalam pasal 1033 RV.[13]

3.             Putusan Hakim

a.             Pengertian putusan

Putusan merupakan hasil akhir dari suatu sengketa. Putusan sangat diperlukan dalam penyelesaian perkara karena putusan adalah muara dan hasil akhir dari sengketa yang timbul. Beberapa doktrin telah mendefinisikan tentang Putusan, meskipun masing-masing doktrina tidak mendefinisikan putusan secara sama, akan tetapi terdapat inti yang sama dari definisi yang telah dikemukakan oleh doktrina tersebut. Sudikno Mertokusumo memberi batasan tentang putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Doktrin lain yang memberikan definisi terhadap putusan yaitu I Rubini dan Chidir Ali, mereka merumuskan bahwa Putusan adalah[14]:

“ Putusan Hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara dan putusan Hakim disebut juga dengan Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari Hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”

b.             Jenis dan Sifat Putusan

Dilihat dari waktu penjatuhannya menurut Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 196 ayat (1) RBg putusan dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, Putusan Akhir (eind vonnis) adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung). Pada pokoknya, putusan akhir dapat berupa[15]:

1)             Putusan Declaratoir (Declaratoir vonnis)

Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang bersifat menerangkan bahwa telah ditetapkan suatu keadaan hukum atau menentukan benar adanya situasi hukum yang dinyatakan oleh Penggugat maupun Pemohon.

2)             Putusan Konstitutif (Constitutive vonnis) Putusan Konstitutif adalah putusan Hakim yang bersifat menimbulkan hapusnya suatu keadaan hukum atau timbulnya keadaan hukum baru yang telah ditetapkan oleh Hakim.

3)             Putusan Kondemnatoir (Condemnatoir vonnis) Putusan kondemnatoir adalah putusan Hakim dengan sifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi baik melunasi hutang, melakukan suatu perbuatan ataupun menyerahkan sesuatu.

Putusan akhir dari suatu perkara dapat pula berupa[16]:

a.              Niet Onvankelijk Verklaart

Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan Pengadilan mengambil keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima adalah sebgai berikut:

1)             Gugatan tidak berdasarkan hukum;

2)             Gugatan tidak patut;

3)             Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;

4)             Gugatannya salah;

5)             Gugatannya kabur;

6)             Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;

7)             Objek gugatan tidak jelas;

8)             Subjek gugatan tidak lengkap;

9)             Dan lain-lain.

b.              Tidak berwenang mengadili

Suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan yang tidak berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh Pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

c.              Gugatan dikabulkan

Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya di Pengadilan akan dikabulkan sleuruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan dikabulkan untuk seluruhnya. Akan tetapi, apabila guagatn hanya terbukti sebagian, maka akan dikabulakan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu.

d.              Gugatan ditolak

Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan Pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.

Kedua, Putusan Sela (tussen vonnis) Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Hakim tidaklah terikat pada Putusan Sela tersebut karena pemeriksaan perkara perdata harus dianggap merupakan satu kesatuan sehingga putusan sela hanya bersifat sementara dan bukan putusan tetap karena dengan dijatuhkannya Putusan Sela pemeriksaan perkara akan tetap berlanjut dan belum bisa dinyatakan selesai. Putusan Sela sendiri dapat dibagi lagi menjadi beberapa macam yang antaralain sebagai berikut[17]:

1)             Putusan Preparator (Preparatoir vonnis) Putusan Preparator adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim guna mengatur dan mempersiapkan pemeriksaan suatu perkara. Putusan Preparator bersifat tidak mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir itu sendiri.

2)             Putusan Interlokutor (Interlocutoir vonnis) Putusan interlocutor adalah putusan sela yang dijatuhkan oleh Hakim yang amarnya berisi tentang perintah pembuktian dan dapat mempengaruhi pokok perkara.

3)             Putusan Provisionil (Provisionil vonnis) Putusan privisionil yaitu putusan yang karena adanya hubungan dengan pokok perkara menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak yang berperkara.

4)             Putusan Insidentil (Incidentele vonnis) Putusan insidentil adalah penjatuhan putusan Hakim karena adanya suatu kejadian atau insiden yang menurut sistem Rv (Regeling Op de Rechvondeling) diartikan sebagai timbulnya kejadian yang menunda jalannya perkara.

Formulasi atau sistematika Putusan adalah susunan yang harus dirumuskan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit formulasi Putusan sendiri diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR atau Pasal 195 RBg, serta Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan kekuatan Putusan Hakim, sama sekali tidak ada pengaturan secara gamblang baik dalam HIR maupun RBg, kecuali dalam Pasal180 HIR atau 191 RBg yang hanya menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan Hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang masih berpeluang untuk diajukan upaya hukum untuk melawan Putusan tersebut, baik upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan kembali dan Darden Verzet.[18]

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.           URAIAN PUTUSAN NOMOR 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL

Berikut adalah uraian dari putusan Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl:

1.             Para Pihak yang Berperkara

Pengadilan Negeri Bangkalan yang memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara gugatan perlawanan antara:

1)            SUNI, bertempat tinggal di Dusun Tonggur, Desa Sadah, kecamatan Galis, Kabupatren Bangkalan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Samba Perwiyajaya, SH,MH, Indrarian Polii, S.H., R.Rio Suspra Anggoro, SH dan Agung Nugraha,SH., Advokat pada Kantor Hukum Samba, Indra & Partners Law Firm, beralamat di Jalan Ketintang Madya 65 Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 17 Maret 2014,selanjutnya disebut sebagai Pelawan

LAWAN

2)            ASNI alias BOK SAYUTI, bertempat tinggal di Desa Sorpa, Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan, selanjutnya disebut sebagai Terlawan;

2.             Duduk Perkara/ Posita/Fundamentum Petendi

Dalam Register Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.BKL, telah mengajukan gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) sebagai berikut:

1)   Bahwa pada hari Selasa tanggal 11 maret 2014 , Pengadilan Negeri Bangkalan, melalui surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan No.19/pdt.G/1992/PN.Bkl. tanggal 18 Juni 2013, telah melaksanakan eksekusi diatas tanah milik Pelawan yang terletak di Desa Sadah, Kec.Galis, Kabupaten Bangkalan, sebagaimana tercatat dalam kohir Nomor :483, Persil IV klas IV , seluas : 2.6789 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :

• Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tanah tegalan Pak Budi) ;

• Timur : Tanah.P.Honi (dahulu tanah tegalan Pak Luki ) ;

• Selatan : Tanah P.De’i (dahulu tanah tegalan B.Karmi) ;

• Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);

2)   Bahwa, dalam pelaksanaan eksekusi tersebut petugas dari Pengadilan Negeri Bangkalan telah menghancurkan dua bangunan rumah, yang ditinggalin oleh anak-anak dari Pelawan ;

3)   Bahwa eksekusi yang dilaksanakan oleh pihak Pengadilan Negeri Bangkalan dinyatakan sebagai upaya paksa/eksekusi atas putusan No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl, yang telah berkekuatan hukum tetap ;

4)   Bahwa dalam perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. yang menjadi para pihak adalah:

1.   Nipah alias Pak Sariyah;

2.   Bunela alias Bok Nabiyah;

3.   Ninten alias Buk Bukalam

4.   Bunari alias Bok Rifa’I

5.   Bunayah alias Pak Mathasan;

Kesemuanya disebut sebagai Para Penggugat melawan BU ALIM alias PAK MAISU sebagai Tergugat ;

5)    Bahwa  amar putusan dalam perkara No. 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. adalah sebagai berikut :

·      Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian ;

·      Menyatakan bahwa Para Penggugat adalah anak-anak dari sepasang suami istri Connek alias Pak Luki dan Ardina alias Bok Luki oleh karena merupakan ahli waris dari almarhum dan almarhumah tersebut diatas ;

·      Menyatakan bahwa sebidang tanah tegalan yang batas-batasnya adalah: Utara : Tegal P.Busimin, Timur: Tegal P.Kattik/tamin, Selatan : Tegal Larmih, Barat : Tegal Samadin, sebagai yang dimaksud dalam kohir (petok) D No.285 persil 4 klas IV luas 0,704 da yang tercantum atas nama nipan alias Pak Sariyah yaitu Penggugat 1 berikut tetumbuhan yang ada diatasnya adalah hak milik para penggugat yang diperoleh dari ayah ibunya tersebut diatas;

·      Menyatakan atas penguasaan dan pengelolaan Tergugat atas tegalan tersebut yang dilakukan sejak 25 tahun yang lalu merupakan penguasaan dan pengelolaan yang tidak sah oleh karenanya atas perbuatannya yang telah memungut dan menikmati atas hasil dari tanah tegalan tersebut merupakan perbuatan yang tidak sah dan merupakan perbuatan melanggar hukum;

·      Menghukum Tergugat untuk membayar uang ganti kerugian kepada para penggugat sebagai akibat atas perbuatannya yang telah menikmati atas hasil dari tanah tegalan tersebut dengan perhitungan dalam tiap-tiap tahunnya sebesar Rp. 310.000 (tiga ratus sepuluh ribu rupiah) terhitung dari sejak tergugat menguasai secara tanpa hak atas tanah tegalan tersebut sampai dengan adanya penyerahan secara nyata dari tergugat kepada para penggugat;

·      Menghukum tergugat dan kepada siapa saja yang memperoleh hak padanya untuk menyerahkan tanah tegalan tersebut yang batasbatasnya :

Utara : Tanah yang dikuasai para penggugat,

Timur: Tanah Tamin, Barat: Tanah Samadin,

Selatan : Tanah Karmih,  berikut tetumbuhan yang tumbuh diatasnya berupa : 10 batang pohon jeruk, 6 batang pohon kedongdong dan 4 batang pohon kelapa dalam keadaan kosong dan bebas dari adanya ikatan berbentuk apapun juga kepada kekuasaan para penggugat ;

·      Menyatakan tidak dapat diterima gugatan penggugat untuk selebihnya;

·      Membebankan biaya perkara kepada tergugat yang hingga kini ditaksir sejumlah Rp. 109.500,-;

6)    Bahwa berdasarkan fakta, pelaksanaan eksekusi atas putusan nomor 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. jo surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan ,Nomor : 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. tanggal 18 Juni 2013, diatas tanah milik Pelawan sebagaimana tersebut diatas , telah terdapat cukup fakta terjadinya kesalahan atas obyek eksekusi (error in objecto), karena hal-hal sebagai berikut :

1.   Obyek Eksekusi , sebagaimana tertuang dalam gugatan perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. seharusnya adalah : tanah yang tercatat pada kohir (Petok D) No. 285, seluas 0,704 da, namun ternyata dilaksanakan diatas tanah milik Pelawan yang tercatat dalam kohir (Petok D) No. 483 ;

2.   Pelaksanaan eksekusi pada tanggal 11 Maret 2014 tersebut, ternyata juga tidak disertai dengan proses dan tahapan pemberian teguran tertulis (anmaning) serta tidak didahului dengan tahapan sita eksekusi dan/atau gugatan eksekusi, sebagai dasar yang sah pada pelaksanaan eksekusi, mengingat dalam amar putusan No.19/Pdt.G/1992/Pn.Bkl. aquo, juga tidak disertai dengan tuntutan serta adanya penetapan sita jaminan, baik atas tanah kohir No.285 apalagi terhadap tanah kohir No. 483 (Non Executable), sehingga Pelawan menjadi kehilangan haknya untuk mengajukan upaya hukum perlawanan (darden verzet) atas pelaksanaan eksekusi dimaksud ;

7)    Bahwa, berdasarkan rangkaian terjadinya peristiwa hukum tersebut diatas, Pelawan menjadi khawatir kejadian yang sama terulang kembali, mengingat adanya surat-surat sebagai berikut :

1.   Putusan No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl.,tanggal 20 Juli 1993, dengan para pihak ASNI alias BOK SAYUTI sebagai PENGGUGAT melawan BUALIM alias BUALIM, sebagai TERGUGAT, sama dengan Tergugat pada perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;

2.   Panggilan tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 25 Oktober 2012 ;-

3.   Panggilan tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember 2012 ;

8)    Bahwa, walaupun amar puTusan dalam perkara No.21/Pdt.G/1992, aquo menyatakan :

DALAM PROVISI :

·      Menyatakan gugatan provisi tidak dapat diterima ;

DALAM POKOK PERKARA

·      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;

·      Menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik setidaknya sebagai orang yang mempunyai kedudukan berkuasa (bezitter) atas tanah tegalan yang batas-batasnya : Utara : Tegal P.Budi, Timur : Tegal P.Luki, Selatan:Tegal B.Amin, Barat: Tegal Samadi, Sebagai yang dimaksud dalam posita gugatan yaitu Kohir tanah No.39 persil 4, klas D.II atas nama B.Amin Karmin ;

·      Menyatakan penguasaan dan penggarapan tergugat atas tanah tegalan tersebut merupakan penguasaan dan penggarapan yang tidak sah oleh karena merupakan perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatigedaad);

·      Menghukum Tergugat dan kepada siapa saja yang menerima hak dari padanya untuk menyerahkan tanah tegalan tersebut dalam keadaan kosong dan bebas dari adanya ikatan berbentuk apapun juga kepada kekuasaan Penggugat ;

·      Menghukum Tergugat dan siapa saja telah menerima hak dari padanya untuk membayar uang paksa apabila lalai melakukan penyerahan dalam tiap-tiap hari kelalaiannya sebesar Rp. 25.000 (duapuluh lima ribu rupiah) terhitung dari sejak putusan perkara ini telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sampai dengan adanya penyerahan keadilan dan kelayakan ;

·      Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini ditaksir Rp. 129.000 ,- (seratus dua puluh sembilan ribu rupiah);

·      Menyatakan bahwa putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi dari Tergugat ;

·       Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya ;

Dimana berdasarkan hukum, putusan perkara No.21/Pdt.G/1992/ PN.Bkl. merupakan putusan non eksekutable kerena tidak disertai pernyataan adanya sita jaminan yang sah dan berharga atas obyek sengketa, sehingga seharusnya menurut Hukum, apabila putusan a quo hendak dilaksanakan (eksekusi), setidak-tidaknya harus melalui tahapan sita eksekusi dan bahkan seharusnya memalui gugatan eksekusi, karena luas tanah didalam obyek gugatan adalah tidak jelas (kabur) ;

9)    Bahwa Pelawan adalah pemilik sah atas tanah terletak di Desa Sadah, Kec. Galis, Kabupaten Bangkalan, sebagaimana tercatat dalam kohir No. 483, Persil IV Klas IV, seluas : 2, 678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :

-          Utara : Tanah P.sariah (dahulu tanah tegalan Pak.Budi)

-          Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan Pak Luki)

-          Selatan : Tanah P.De’i (dahulu tanah tegalan B.Karmi);

-          Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);

10)    Bahwa, kepemilikan dan penguasaan Pelawan atas tanah miliknya tersebut diatas telah berlangsung secara terus menerus dan secara turun menurun, setidak-tidaknya telah berlangsung sejak tahun 1941 dan sebelumnya karena merupakan harta warisan dari orang tua Pelawan dan bukan merupakan perolehan dari pihak ketiga lainnya,oleh dan karenanya menurut hukum harus dilindungi dan dibebaskan dari ancaman pihak manapun juga;

11) Bahwa, Perlawanan Pelawan terhadap permohonan eksekusi pihak Terlawan, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan no. 21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl, tertanggal 25 Oktober 2012 (tersebut dalam surat anmaning I) dan No. 21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl, tertanggal 02 Nopember 2012 (tersebut dalam anmaning II ), walaupun tahapan permohonan eksekusi Terlawan belum memasuki tahap sita eksekusi dan Pelawan sebenarnya juga bukanlah salah satu pihak dalam perkara No.21/ Pdt.G/1992/PN.Bkl, serta tanah miliknya Pelawan juga bukan obyek gugatan dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, namun mempertimbangkan adanya peristiwa-peristiwa sebagaimana diuraikan pada point 1 s/d. 6 diatas, maka menurut hukum, gugatan perlawanan yang diajukan Pelawan dalam perkara ini harus dianggap patut dan wajar serta beritikad baik, guna menghindarkan adanya pelaksanaan eksekusi yang bertentangan dengan aturan hukum serta guna menjaga ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, oleh karenanya Pelawan haruslah dianggap sebagai Pelawan yang baik dan benar (allgoed opposant);

12) Bahwa, berdasarkan hal terurai diatas, karena telah cukup diuraikan adanya fakta Pelawan bukanlah para pihak yang harus tunduk pada putusan No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no. 483, Persil IV klas IV , seluas : 2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :

-      Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi ) ;

-      Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki) ;

-      Selatan : Tanah P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ) ;

-      Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);

Bukanlah obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka sudah sepatutnya menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus dinyatakan bukanlah obyek sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam permohonan eksekusi atas putusan No. 21/ Pdt.G/1992/PN.Bkl;

3.             Petitum

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pelawan mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkalan yang memeriksa perkara ini, berkenan menjatuhkan putusan, dengan amar putusan sebagai berikut :

PRIMAIR

1.    Menyatakan menerima dan mengabulkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan seluruhnya ;

2.    Menyatakan Perlawanan Pelawan sebagai pihak ketiga adalah tepat dan benar ;

3.    Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang baik dan benar (allgoed opposant) ;

4.    Menyatakan bahwa obyek tanah Pelawan, sebagaimana tercatat dalam kohir No. 483, persil IV klas IV, seluas :2,678 Ha (26.780 M2) dengan batas-batasnya :

-          Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi ) ;

-          Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki) ;

-          Selatan : Tanah P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ) ;

-          Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan SamadiaRidwan);

Bukanlah obyek sengketa dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl.

5.    Menyatakan batal penetapan Pengadilan Negeri bangkalan No. 21/ Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl. tertanggal 23 Oktober 2012 ;

6.    Menghukum Terlawan untuk membayar biaya perkara ini ;

SUBSIDAIR

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aqueo et bono)

4.             Alat Bukti pelawan

Pelawan telah mengajukan bukti-bukti surat sebagai berikut :

1)            Foto copy surat ketetapan peda Letter C no.483 atas nama Soeni, diberi tanda P-1 ;

2)            Foto copy surat keterangan obyek pajak No.ket. 2121/WPJ.09/ KB.06.3/1992, diberi tanda P-1.1 ;

3)            Foto copy surat pernyataan tanggal 15 Mei 1992, diberi tanda P-2 ;

4)            Foto copy surat pernyataan H.Moestofa (Kepala Desa sadah), diberi tanda P-2.1 ;

5)            Foto copy surat Moehammad Moenir tanggal 26 Desember 2012, diberi tanda P-3 ;

6)            Foto copy Putusan No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl, tanggal 20 Juli 1993, diberi tanda P-4 ;

7)            Foto copy panggilan tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, tanggal 25 Oktober 2012, diberi tanda P-5 ;

8)            Foto copy panggilan tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/ Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember 2012, diberi tanda P-6 ;

Bukti-bukti tersebut berupa fotocopy bermeterai cukup, telah dicocokkan dengan aslinya dan sesuai dengan aslinya, kecuali bukti P-1.1, P-3, P-4, P-5, dan P-6, hanya berupa fotocopy tanpa diperlihatkan aslinya di persidangan;

5.             Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan perlawanan Pelawan yang pada pokoknya adalah mengenai Pelawan bukanlah para pihak yang harus tunduk pada putusan No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no. 483, Persil IV klas IV, seluas : 2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :

-                Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi),

-                Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki),

-                Selatan : Tanah P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ),

-                Barat : tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan).

Bukanlah obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka sudah sepatutnya menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus dinyatakan bukanlah obyek sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam permohonan eksekusi atas putusan No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;

Menimbang, bahwa Pelawan untuk menguatkan dalilnya telah mengajukan alat bukti surat berupa bukti P-1 sampai dengan P-6 ;

Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan lebih lanjut bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Pelawan tersebut kaitannya dalam dalil pokok gugatan perlawanan sebagaimana terurai diatas, maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah gugatan Penggugat tersebut telah memenuhi syarat formil dari gugatan yang sempurna atau tidak ;

Menimbang, bahwa sebagaimana berita acara sidang sejak awal persidangan Terlawan tidak pernah hadir dan ketidak hadiran Terlawan tersebut dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 sebagaimana isi relas panggilan pertama tanggal 24 Maret 2014, relas panggilan kedua tanggal 3 April 2014 dan relas panggilan ketiga tanggal 9 April 2014 disertai lampiran surat keterangan dari kepala desa sorpa tanggal 9 april 2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok Sayuti telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 dan relas panggilan tersebut telah sah dan patut sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 RV;

Menimbang, bahwa oleh karena Terlawan Asni alias Bok Sayuti nyata-nyata telah meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996 sebagamana isi relas panggilan disertai surat keterangan kepala Desa Sorpa tersebut diatas, serta keterangan Kuasa Pelawan dipersidangan sebagaimana berita acara sidang tanggal 08 April 2014 yang menyatakan menurut keterangan kepala desa sorpa bahwa Terlawan Asni alias Bok Sayuti meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996. Dalam keadaan tersebut Majelis Hakim dipersidangan telah memberitahukannya, namun kuasa pelawan menyatakan tidak mencabut gugatannya dan tetap melanjutkan persidangan. Maka dalam hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan petunjuk dari Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf R Poin 2 menjelaskan bahwa “jika dalam proses pemeriksaan perkara tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan kembali kepada ahli waris Tergugat.;

Menimbang, bahwa lagi pula tujuan digantikannya oleh ahli waris terhadap Terlawan yang telah meninggal dunia dalam perkara gugatan agar putusan dapat dijalankan, jika putusan tersebut dikabulkan. Karena jika pihak Terlawan yang nyata-nyata telah meninggal dunia sedangkan Pelawan tetap tidak menentukan/menggantikan pihak dari Terlawan yang telah meninggal dunia tersebut kepada pada ahli waris dalam surat gugatan tersebut, maka konsekuensi hukumnya putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan “Dalam hal sebelum perkara diputuskan, tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang menjadi akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan” ;

Menimbang, bahwa ditinjau juga dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan fair trial (peradilan yang adil), maka sangat beralasan jika pihak Terlawan Asni alias Bok Sayuti yang telah meninggal dunia tersebut haruslah digantikan oleh ahli warisnya dan dijadikan pihak Terlawan dalam perkara ini, agar memberi kesempatan kepada ahli waris Terlawan untuk membela hak dan kepentingan dalam pemeriksaan persidangan dari pihak yang telah meninggal dunia tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas menurut pendapat Majelis Hakim, gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari pelawan menurut hukum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard);

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana dipertimbangkan diatas, maka terhadap pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan bukti-bukti dalam perkara ini tidak perlu dipertimbangkan lagi ;

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima, maka terhadap biaya perkara dibebankan kepada Pelawan;

Memperhatikan, Pasal 390 ayat (2) HIR, Pasal 7 RV dan Yurisprudensi MARI tanggal 10-7-1971 Nomor : 332 K/Sip/1971 serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;

6.             Amar Putusan

MENGADILI:

1)            Menyatakan gugatan perlawanan pihak ketiga dari pelawan tidak dapat diterima ;

2)            Menghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara yang sejumlah Rp.439.000,00 (empat ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).

B.            PEMBAHASAN

1.             Pertimbanagn hukum hakim dalam memutus perlawanan dinyatakan tidak dapat diterima pada perkara Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.

Pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:

1.             Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

Berdasarkan putusan nomor 06/Pdt.Plw/2014/PN.BKL dalam pertimbangannya hakim telah menjelaskan bahwa maksud dan tujuan gugatan perlawanan Pelawan yang pada pokoknya adalah mengenai Pelawan bukanlah para pihak yang harus tunduk pada putusan No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no. 483, Persil IV klas IV, seluas : 2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :

-                 Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi),

-                 Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki),

-                 Selatan : Tanah P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ),

-                 Barat : tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan).

Bukanlah obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka sudah sepatutnya menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus dinyatakan bukanlah obyek sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam permohonan eksekusi atas putusan No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;

Menimbang, bahwa Pelawan untuk menguatkan dalilnya telah mengajukan alat bukti surat berupa bukti P-1 sampai dengan P-6 ;

2.             Adanya analisis secara yuridis terhadap segala aspek menyangkut semua fakta / hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

Berdasarkan putusan diatas, telah diketahui fakta yang terbukti dipersidangan sebagaimana berita acara sidang bahwa sejak awal persidangan Terlawan tidak pernah hadir dan ketidak hadiran Terlawan tersebut dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 sebagaimana isi relas panggilan pertama tanggal 24 Maret 2014, relas panggilan kedua tanggal 3 April 2014 dan relas panggilan ketiga tanggal 9 April 2014 disertai lampiran surat keterangan dari kepala desa sorpa tanggal 9 april 2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok Sayuti telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 dan relas panggilan tersebut telah sah dan patut sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 RV;

 

3.             Adanya pertimbangan-pertimbangan hakim secara yuridis (ratio decidendi) dengan titik tolak pada pendapat para doktrina, alat bukti, dan yurisprudensi. Pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya harus disusun secara logis, sistematis, saling berhubungan, dan saling mengisi.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan oleh karena Terlawan Asni alias Bok Sayuti nyata-nyata telah meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996 sebagamana isi relas panggilan disertai surat keterangan kepala Desa Sorpa tersebut diatas, serta keterangan Kuasa Pelawan dipersidangan sebagaimana berita acara sidang tanggal 08 April 2014 yang menyatakan menurut keterangan kepala desa sorpa bahwa Terlawan Asni alias Bok Sayuti meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996. Dalam keadaan tersebut Majelis Hakim dipersidangan telah memberitahukannya, namun kuasa pelawan menyatakan tidak mencabut gugatannya dan tetap melanjutkan persidangan. Maka dalam hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan petunjuk dari Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf R Poin 2 menjelaskan bahwa:

 “jika dalam proses pemeriksaan perkara tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan kembali kepada ahli waris Tergugat.;

 

Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan:

“Dalam hal sebelum perkara diputuskan, tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang menjadi akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan.”

Hakim juga memperhatikan ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR, Pasal 7 RV dan Yurisprudensi MARI tanggal 10-7-1971 Nomor : 332 K/Sip/1971 serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;

4.             Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan / diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti / tidaknya dan dapat dikabulkan / tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.

Dalam memutus perkara Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL hakim juga telah memberikan pertimbangannya bahwa ditinjau juga dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan fair trial (peradilan yang adil), maka sangat beralasan jika pihak Terlawan Asni alias Bok Sayuti yang telah meninggal dunia tersebut haruslah digantikan oleh ahli warisnya dan dijadikan pihak Terlawan dalam perkara ini, agar memberi kesempatan kepada ahli waris Terlawan untuk membela hak dan kepentingan dalam pemeriksaan persidangan dari pihak yang telah meninggal dunia tersebut;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas menurut pendapat Majelis Hakim, gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari pelawan menurut hukum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard);

Oleh karena gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana dipertimbangkan diatas, maka terhadap pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan bukti-bukti dalam perkara ini tidak perlu dipertimbangkan lagi ;

Oleh karena gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima, maka terhadap biaya perkara dibebankan kepada Pelawan;

Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL merupakan putusan terhadap perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet) adalah upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga melawan putusan hakim yang merugikannya.[19]

Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg. Ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg tersebut diatas mengatur:

a.             Perlawanan terhadap sita eksekutorial;

b.             Yang diajukan oleh yang terkena eksekusi/tersita;

c.             Yang diajukan oleh pihak ketiga atas dasar hak milik;

d.             Perlawanan diajukan kepada Ketua pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi;

e.             Adanya kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa/memutus perlawanan itu untuk melaporkan atau pemeriksaan/putusan perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.

Pelawan dalam perkara Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL mengajukan perlawanan pihak ketiga atau derden verzet karena Pengadilan Negeri Bengkalan telah melakukan eksekusi terhadap rumah dan bangunan yang merupakan milik Pelawan, dimana eksekusi tersebut dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan nomor 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl namun yang menjadi permasalahan bahwa tanah dan bangunan milik Pelawan yang dieksekusi bukanlah objek sengketa dalam Penetapan tersebut. Kemudian dengan adanya Putusan Nomor 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl dan surat peringatan Nomor 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl dikhawatirkan hal tersebut terulang kembali karena Pelawan bukanlah salah satu pihak dalam putusan tersebut serta tanah hak milik Pelawan bukanlah objek sengketa dalam putusan tersebut. Oleh karena itu Pelawan mengajukan derden verzet agar majelis hakim menyatakan bahwa tanah yang telah dieksekusi tersebut merupakan tanah hak milik pelawan dan bukanlah objek sengketa dalam Putusan Nomor 21/Pdt.G/1992/PN.BKl.

Agar suatu gugatan atau perlawanan dapat dikabulkan oleh majelis hakim maka harus memperhatikan syarat formil mengajukan gugatan. Menurut Pasal 8 RV, suatu gugatan terdiri atas[20]:

a.             Identitas Para Pihak

Identitas itu umumnya menyangkut:

1.             Nama lengkap

2.             Umur/tempat dan tanggal lahir

3.             Pekerjaan, dan

4.             Alamat atau domisili

b.             Posita (fundamentum Petendi)

Mengenai objek gugatan ini sedemikian pentingnya dalam perkara perdata, maka harus diuraikan secara jelas dan terperinci mengenai objek perkara, fakta-fakta hukum, kualiffikasi perbuatan tergugat, serta hubungan antara posita dan petitum. Hubungan antara posita dan petitum sangat erat, karena posita adalah dasar membuat petitum. Petitum tidak boleh bertentangan dan melebihi posita.

c.             Petitum

Petitum berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh Hakim atau Pengadilan. petitum biasanya terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:

1)             Primair, berisikan hal-hal pokok yang mohon dikabulkan oleh hakim/pengadilan;

2)             Subsidair, memberi kebebasan hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair.

Menurut Pasal 8 Rv petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya gugatan atau tuntutan itu.

Untuk memutus suatu gugatan atau perlawanan, maka terlebih dahulu diperiksa para pihak dalam gugatan atau perlawanan itu telah lengkap atau belum, penggugat haruslah benar-benar orang yang berhak mengajukan gugatan itu.

Jika melihat pada formalitas gugatan diatas, perkara pada putusan nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl dalam gugatan/perlawanannya mengenai identitas para pihaknya, maka dapat diketahui yang menjadi Pelawan adalah SUNI, bertempat tinggal di Dusun Tonggur, Desa Sadah, kecamatan Galis, Kabupatren Bangkalan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Samba Perwiyajaya, SH,MH, Indrarian Polii, S.H., R.Rio Suspra Anggoro, SH dan Agung Nugraha,SH., Advokat pada Kantor Hukum Samba, Indra & Partners Law Firm, beralamat di Jalan Ketintang Madya 65 Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 17 Maret 2014. Sedangkan yang menjadi Terlawan adalah ASNI alias BOK SAYUTI, bertempat tinggal di Desa Sorpa, Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan.

Dalam Persidangan Terlawan yaitu Asni alias Bok Sayuti tidak hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara sah dan patut menurut hukum dengan relas panggilan:

a.             relas panggilan pertama tanggal 24 Maret 2014,

b.             relas panggilan kedua tanggal 3 April 2014, dan

c.             relas panggilan ketiga tanggal 9 April 2014,

Dalam persidangan Terlawan tidak pernah hadir dan ketidak hadiran Terlawan tersebut dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 lampiran surat keterangan dari kepala desa sorpa tanggal 9 april 2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok Sayuti telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996.

Sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata bahwa terhadap pihak Terlawan yang telah meninggal dunia, maka perkara tersebut harus dicabut terlebih dahulu oleh Pelawan dan mengajukan gugatannya kembali kepada ahli waris Terlawan.

Berdasarkan Pasal 390 ayat (2) HIR yang berbunyi:

“Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat jurusita itu disampaikan pada ahli warisnya; jika ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa di tempat tinggal yang terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang Asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada Balai Harta Peninggalan”.

 

Selanjutnya dalam Pasal 7 RV disebutkan:

“Terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia, pemberitahuan gugatan dan pemberitahuan-pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa menyebut nama dan tempat tinggalnya, di tempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu enam bulan setelah meninggalnya.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila tergugat/terlawan atau orang yang hendak dipanggil ke persidangan telah meninggal dunia, tata cara pemanggilan yang digunakan dipengaruhi keadaan-keadaan berikut ini:

a.             Ahli waris dikenal, apabila ahli waris dikenal, pemanggilan dijukan kepada semua ahli waris secara sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu per satu. Pemanggilan disampaikan ke tempat tinggal pewaris (tergugat/terlawan yang meninggal dunia) yang terakhir. Dalam surat pemanggilan, cukup disebut nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal.

b.             Ahli waris tidak dikenal, pemanggilan disampaikan kepada kepala desa atau lurah di tempat tinggal terakhir pewaris. Selanjutnya, kepala desa segera menyampaikan pemanggilan tersebut kepada ahli waris dari pewaris. Jika kepala desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan kepala desa tersebut, juru sita dapat menempuh tata cara melalui panggilan umum.

Ketentuan ini adalah layak dan bijaksanan , sebab di dalam suatu perkara perdata bukan hanya kepentingan penggugat sajalah yang harus diperhatikan melainkan kepentingan tergugatpun harus pula diperhatikan (audi et alteram partem).[21]

Dalam perkara pada putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl tersebut pemanggilan terlawan telah sah dan patut sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv.

Dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sehingga pemeriksaan pokok perkara tidak dapat dilanjutkan dan Hakim telah memberikan kesempatan kepada pelawan untuk mencabut perlawanannya guna memperbaiki gugatan yaitu dengan menjadikan ahli waris Asni alias Bok Sayuti. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan petunjuk dari Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf R Poin 2 menjelaskan bahwa:

 “jika dalam proses pemeriksaan perkara tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan kembali kepada ahli waris Tergugat.;

 

Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan:

“Dalam hal sebelum perkara diputuskan, tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang menjadi akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan.”

Akan tetapi pelawan tidak berkenan untuk mencabut perlawanannya. Dengan berdasarkan alasan diatas, dengan tanpa memeriksa pokok perkara hakim menjatuhkan putusan tidak dapat diterima.

 

2.             Akibat Hukum dari putusan yang menyatakan tidak dapat diterima pada putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl

Telah dijelaskan diatas bahwa suatu putusan terdiri dari putusan akhir dan putusan sela, namun perlu diketahui putusan sela hanya bersifat sementara. Putusan akhir terdiri dari putusan yang menyatakan:

1.             Dikabulkan;

2.             Gugatan tidak dapat diterima;

3.             Gugatan ditolak.

Berdasarkan putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl karena gugatan Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) karena terlawan telah meninggal dunia seharusnya diganti oleh ahli waris akan tetapi pelawan tidak mencabut gugatannya sehingga patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima.

Akibat putusan dinyatakan tidak dapat diterima maka:

1.             Hubungan hukum antara pelawan dan terlawan kembali seperti keadaan awal sebelum dilakukan perlawanan;

2.             Pelawan dapat mengajukan kembali perlawanannya dengan memperbaiki gugatan perlawanannya yaitu dengan menjadikan ahli waris Terlawan (Asni alias Bok Sayuti) sebagai Terlawan;

3.             Pelawan harus menanggung seluruh biaya yang timbul dari adanya perlawanan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.           KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada BAB II diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1.             Pelawan dalam Perkara Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl telah dipanggil secara sah dengan relas panggilan 1 sampai 3 dengan disertai surat keterangan dari kepala desa bahwa ternyata Terlawan telah meninggal dunia;

2.             Hakim dalam mempertimbangkan putusannya telah sesuai dengan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv yaitu apabila Terlawan meninggal dunia maka harus digantikan dengan ahli warisnya;

3.             Selain itu berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, apabila Terlawan meninggal dunia maka harus ditentukan ahli warisnya dan dijadikan sebagai Terlawan, dengan demikian hakim menyarankan untuk mencabut Perlawanan Derden verzet, akan tetapi Pelawan tidak berkenan untuk mencabut dan tetap melanjutkan proses pengadilan sehingga putusan dinyatakan tidak dapat diterima;

4.             Akibat dari putusan tidak dapat diterima adalah hubungan hukum antara Pelawan dan Terlawan kembali seperti sebelum dilakukan Derden Verzet,  dan Pelawan dibebankan untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari adanya perlawanan tersebut.

 



[1] Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata Cetakan Ketiga Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 1

[2] Loc Cit

[3] Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 129

[4] Ibid, hal. 130

[5] Op Cit, Hal. 226

[6] Zainul Bahri, Kamus Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, Hal. 61

[7] Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, Nuansa Aulia, Bandung, 2011, Hal. 325-326

[8] Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hal 120

[9] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, Hal 223

[10] Djamanat Samosir, Op Cit hal. 338

[11] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, Hal. 135

[12] Ibid, hal. 137

[13] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal. 210-211

[14] Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Perspektif Teoritis, Praktis dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2012, Hal. 192

[15] Ibid, Hal. 201

[16] Darwan Prinst, Op Cit, Hal. 203

[17] Ibid, hal. 200

[18] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal. 877-878

[19] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990, hal. 275

[20] Darwan Prinst, Op Cit,  hal 34-38

[21] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata, yogyakarta, liberty, 2002, hal 97

HUKUM

lebih prioritaskan keluarga suami daripada istrinya sendiri

 lagi pengen curhat tapi yang orang terdekat gak tau. ya udah cerita disini aja. ada yang punya pengalaman sama gak sih? lagi viral juga soa...

BACA JUGA