BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon).
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya dan
sebagai makhluk politik senantiasa hidup dalam organisasi. Interaksi sosial
sesama manusia itu adakalanya menyebabkan konflik di antara mereka sehingga 1
(satu) pihak harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya atau memaksa pihak
lain itu melaksanakan kewajibannya.[1]
Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan,
yakni suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh
Penggugat melalui putusan Pengadilan.[2]
Suatu putusan pengadilan harus dijalankan atau dilaksanakan oleh pihak yang
diperintah pengadilan dalam putusan tersebut.
Pada azasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak
semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dijalankan,
karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir,
yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan.[3]
Pelaksanaan putusan yang tetap disebut juga dengan eksekusi. Pelaksanan
dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi
putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau
melaksanakan putusan dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya
dimulai.
Dalam hukum acara perdata dikenal tiga macam eksekusi, yaitu:[4]
a)
Eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seseorang
dihukum untuk membayar sejumlah uang;
b)
Eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan;
c)
eksekusi Riil,
yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.
Dalam praktek ternyata banyak rintangan yang dapat menghambat
pelaksanaan eksekusi, seperti halnya Derden Verzet, bantahan atau bahkan
peninjauan kembali yang kemudian dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan
eksekusi.[5] Derden
Verzet atau perlawanan pihak ketiga, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh
seseorang diluar pihak yang terdapat dalam suatu putusan dimana merasa
dirugikan dengan adanya tindakan pengadilan berupa eksekusi. Pihak ketiga
tersebut harus benar-benar dirugikan dan harus didasarkan pada hak milik.
Salah satu contoh perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan eksekusi terdapat dalam putusan
pengadilan nomor 06/Pdt.Plw/2014/PN.BKL, dimana Suni sebagai Pelawan dan Asni
alias Bok Sayuti sebagai Terlawan. Dalam perlawanannya, Pelawan adalah pemilik
sah atas tanah yang terletak di Desa Sadah Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan
yang kepemilikan dan penguasaan Pelawan atas tanah miliknya tersebut telah
berlangsung terus menerus dan turun temurun. Terhadap tanah hak milik tersebut
Pelawan mendalilkan bahwa Pengadilan Negeri Bangkalan melalui surat penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl, telah
melaksanakan eksekusi diatas tanah milik Pelawan. Dalam pelaksanaan eksekusi
tersebut petugas telah menghancurkan dua bangunan rumah yang ditempati oleh
anak-anak dari Terlawan. Eksekusi yang dilaksanakan oleh pihak Pengadilan
dinyatakan sebagai upaya paksa/eksekusi atas putusan No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl,
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pelawan merasa khawatir Pelawan menjadi khawatir kejadian yang sama
terulang kembali, mengingat adanya surat-surat sebagai berikut :
1.
Putusan
No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl.,tanggal 20 Juli 1993, dengan para pihak ASNI alias BOK
SAYUTI sebagai PENGGUGAT melawan BUALIM alias BUALIM, sebagai TERGUGAT, sama
dengan Tergugat pada perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;
2.
Panggilan
tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 25 Oktober 2012 ;-
3.
Panggilan
tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember 2012 ;
Pelawan beranggapan putusan perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl
merupakan putusan non eksekutable karena tidak disertai pernyataan
adanya sita jaminan yang sah dan berharga atas objek sengketa, sehingga
seharusnya menurut hukum apabila putusan hendak dieksekusi harus memenuhi
tahapan sita eksekusi dan seharusnya melalui gugatan eksekusi.
Perlawanan pelawan terhadap permohonan eksekusi pihak Terlawan,
yang kemudian ditindaklanjuti oleh Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan
No.21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl dan No.21/Pen.Pdt.G/ 1992/PN.Bkl, walaupun tahapan
permohonan eksekusi Terlawan belum memasuki tahap sita eksekusi dan Pelawan
sebenarnya bukanlah salah satu pihak dalam perkara tersebut serta tanah
miliknya juga bukan objek gugatan dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka
dalam petitumnya Pelawan meminta agar objek tanah Pelawan dinyatakan bukan
objek sengketa dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl serta menyatakan batal
penetapan Pengadilan Negeri Nomor 21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl.
Dalam putusannya hakim memutus bahwa Perlawanan Pelawan tidak dapat
diterima dengan pertimbangan hukumnya bahwa Terlawan ternyata telah meninggal
dunia, sehingga Perlawanan cacat formil.
Dari latar belakang diatas maka akan mengangkatnya dalam penulisan
dengan judul: “PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN
VERZET) YANG TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM EKSEKUSI RIIL (Studi terhadap
Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/Pn.Bkl)”.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pertimbangan
hukum hakim yang menyatakan perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) tidak
dapat diterima terhadap eksekusi riil pada putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl?
2.
Bagaimana
akibat hukum dengan tidak diterimanya perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) pelawan terhadap eksekusi
riil pada putusan No. 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
1.
Untuk
mengetahui tentang pertimbangan hukum hakim dalam memutus perlawanan pihak
ketiga (Derden Verzet) terhadap
eksekusi riil pada putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl;
2.
Untuk
mengetahui akibat hukum dengan tidak diterimanya perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) pelawan terhadap eksekusi
riil pada putusan No. 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl.
D.
KERANGKA TEORI
1.
Perlawanan
Pihak Ketiga
a.
Pengertian
Perlawanan
Kata perlawanan mengandung kata
“menentang” sesuatu sampai diperoleh hasil akhir yang pasti dalam bentuk kalah
atau menang. Tujuan yang ingin dicapai dari upaya perlawanan adalah melawan
secara formal dan resmi suatu penetapan atau putusan yang dijatuhkan
pengadilan, supaya putusan atau penetapan itu lumpuh dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat pada diri pelawan.
Perlawanan muncul ketika ada salah
satu pihak merasa dirugikan atas putusan hakim tersebut, dimana dalam putusan
hakim tersebut salah menerapkan hukum atau pada proses pemeriksaan majelis
hakim kurang teliti dalam penerapan undang-undang sehingga dalam putusan
tersebut melebihi apa yang dituntut oleh penggugat.
Upaya perlawanan timbul berdasarkan
suatu penetapan dan ini mengindikasikan bahwa perlawanan muncul ketika adanya
suatu penetapan sita jaminan oleh majelis hakim yang kemudian timbul perlawanan
atas penetapan sita jaminan sehingga sifat dari perlawanan tidak dapat berdiri
sendiri. Perlawanan merupakan hak tergugat atau pihak ketiga bukan sebagai
kewajiban hukum, karena sifat dan fungsi dari perlawanan adalah bersifat
fakultatif bukan bersifat imperatif.
Pihak tergugat atau pihak ketiga
dalam hal ini dapat menggunakan hak perlawanan maupun tidak. Apabila tergugat
atau pihak ketiga menggunakan perlawanan terhadap sita jaminan maka maksud
perlawanan tersebut bukan sebagai itikad tidak baik. Ketentuan Pasal 195 (6) dan
(7) HIR tersebut mengatur:
1)
Perlawanan
terhadap sita eksekutorial;
2)
Diajukan oleh
yang terkena eksekusi atau tersita;
3)
Diajukan pihak ketiga
atas dasar hak milik;
4)
Perlawanan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan;
5)
Adanya
kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perlawanan
itu untuk melaporkan atas pemeriksaan dan putusan perkara perlawanan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.
Kemudian dalam Pasal 207 dan Pasal
208 HIR juga mengatur:
1)
Cara pengajuan
perlawanan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;
2)
Perlawanan itu
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri;
3)
Adanya azas
bahwa perlawanan tidak menangguhkan eksekusi;
4)
Pengecualian
terhadap azas di atas;
5)
Kemungkinan
untuk mengajukan banding;
b.
Pengertian
Perlawanan Pihak Ketiga
Perlawanan pihak ketiga atau
bantahan dikenal juga dengan istilah Derden Verzet. Perlawanan pihak
ketiga sendiri merupakan perlawanan yang dilakukan oleh orang yang semula bukan
pihak yang bersangkutan dalam berperkara dan hanya karena ia merasa
berkepentingan, oleh karena ia merasa mengenai barang yang dipersengketakan
atau barang yang sedang disita dalam perkara itu sebenarnya bukan kepunyaan
dari tergugat, tetapi adalah milik pihak ketiga (M. Nur Rasaid, 2003:62).
Menurut Sudikno Mertokusumo
(2002:237) perlawanan pihak ketiga mempunyai arti yaitu perlawanan yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang
menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang
bersangkutan dengan cara biasa. Adapun definisi lain yang disebutkan oleh Moh.
Taufik Makarao mengenai bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum
yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh
karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan
dimana barang atau benda tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual
lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan
alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat
(Moh. Taufik Makarao, 2004:210).
Perlawanan pihak ketiga ini,
digunakan oleh pihak ketiga untuk melawan putusan hakim, baik putusan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maupun
perkara yang sedang dalam proses. Dasar hukum yang mengatur tentang perlawanan
pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208 HIR. Pasal tersebut mengatakan ketentuan
pasal diatas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan
putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah
miliknya. Pasal yang dimaksud ketentuan diatas adalah Pasal 207 HIR yang
berbunyi:
1)
Bantahan orang
yang berutang tentang pelaksanaan putusan, baik dalam hal yang disita adalah
barang yang tidak tetap, maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus
diberitahukan oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau
dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat keenam
Pasal 195; jika bantahan itu diberitahukan secara lisan, maka ketua wajib
mencatatnya atau menyuruh mencatatnya,
2)
Kemudian
perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri,
supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil secara
patut,
3)
Bantahan itu
tidak dapat menunda pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali jika ketua
memberikan perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan
negeri. Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap sita jaminan harus
benar-benar mempunyai kepentingan untuk meminta diangkatnya sita tersebut,
karena sita tersebut merugikan haknya. Seperti penyitaan terhadap barang-barang
yang digunakan dan dibutuhkan sehari-hari untuk menjalankan pekerjaan, hal ini
diatur dalam Pasal 195 ayat 6 dan 7 HIR yang menegaskan apabila suatu penetapan
tersebut dibantah karena penyitaan terhadap barang miliknya maka dapat
mengajukan perlawanan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Perlawanan pihak ketiga terhadap
sita jaminan dan terhadap sita eksekutorial harus didasarkan hak milik, yaitu
bahwa barang yang disita itu adalah milik pihak ketiga. Pihak ketiga ini
disebut pelawan atau pembantah, sedangkan penggugat semula, yang berdasarkan
permohonan sita tersebut telah diletakkan, disebut “terlawan penyita”, dan
tergugat semula disebut “terlawan tersita”. Apabila pihak ketiga berhasil
membuktikannya, maka sita yang telah diletakkan sepanjang terhadap barang milik
pihak ketiga itu akan diperintahkan oleh hakim untuk diangkat. Namun
sebaliknya, apabila pelawan tidak dapat membuktikan atas barang yang disita itu
adalah miliknya, maka sita akan tetap dipertahankan terhadap barang tersebut.
Apabila perlawanan terhadap sita jaminan dilakukan setelah selesai pelaksanaan
lelang atau penjualan barang sitaan, dalam hal ini perlawanan tidak dibenarkan
dan pengadilan akan menolak perlawanan tersebut. Jalan yang ditempuh adalah
mengajukan gugatan baru (Abdulkadir Muhammad, 2008: 242).
Terhadap perkara perlawanan pihak
ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan
perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, karena laporan
tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan
mengenai diteruskan atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpinnya. Pelaksanaan
pemeriksaan dan dalam memutus perkara perlawanan ini dilakukan menurut acara
biasa, sedang dasar pengajuannya dilakukan dengan berpedoman kepada pasal-pasal
R.V. yang mengatur persoalan tersebut. Seperti pada Pasal 378 R.V. menyebutkan
bahwa
“pihak-pihak ketiga berhak melakukan
perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka yang sah
menurut hukum, ataupun pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang
pengadilan, atau karena penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara
pernah menjadi pihak.”
c.
Prosedur
Mengajukan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden
Verzet)
Prosedur-prosedur dalam mengajukan perlawanan
pihak ketiga yang harus dilaksanakan yaitu (Rocky Marbun, 2011: 172) :
1)
Diajukan oleh
pihak ketiga guna membela dan mempertahankan hak kepentingannya di pengadilam,
bukan sebagai kewajiban;
2)
Pelawan bukan
subjek yang terlibat langsung sebagai pihak dalam putusan yang dilawan;
3)
Pada Derden Verzet, pelawan harus menarik
seluruh pihak yang terlibat dalam putusan yang dilawan. Hal ini merupakan
syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila diabaikan mengandung cacat
formal berupa error in persona yang dapat mengakibatkan putusan di N.O. (niet
ont vankelijkverklaard) atau gugatan tidak dapat diterima;
4)
Tenggang waktu Derden Verzet dapat dikatakan luas
tetapi juga dapat dikatakan sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari,
minggu, bulan, dan bahkan tahun, yang membatasinya adalah eksekusi putusan.
Kalau eksekusi itu cepat maka cepat pula habisnya tenggang waktu untuk mengajukan
Derden Verzet. Apabila lambat maka
lambat pula berakhirnya tenggang waktu untuk mengajukan Derden Verzet;
5)
Derden Verzet didaftar
sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru;
6)
Karena Derden Verzet didaftar sebagai perkara
baru dengan membayar biaya perkara baru, maka terpisah dari nomor perkara yang
dilawan;
7)
Karena Derden Verzet itu sebagai perkara baru,
yang menjadi bahan pemeriksaan adalah perlawanan pelawan. Bila terlawan
membantah dalil pelawan maka pelawan berkewajiban membuktikan dalilnya.
2.
Eksekusi
a.
Pengertian
eksekusi
Eksekusi didalam bahasa Inggris “Execution”
adalah pelaksanaan putusan hakim (KUHP pasal 270).[6]
Dalam HIR (Het Herzien Inland Reglement) pengertian eksekusi sama dengan
pengertian menjalankan putusan. Istilah menjalankan putusan mempunyai arti
melaksanakan isi putusan pengadilan. pelaksanaan putusan adalah suatu tindakan
paksa dengan kekuatan umum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang
kalah untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan/hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan
putusan, melainkan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan,
sehingga terealilasilah prestasi sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam
putusan.[7]
Suatu putusan perkara perdata,
tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan tanpa adanya eksekusi. Oleh
karena itu, setiap putusan hakim haruslah dapat dilaksanakan atau dengan kata
lain harus mempunyai kekuatan eksekutorial.[8]
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara. adanya
kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan adalah karena dalam kepala
putusan berbunyi “ Demi Keailan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi tidak semua putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksanaan
secara paksa, melainkan hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir.[9]
b.
Macam-Macam
Eksekusi
Pelaksanaan putusan atau eksekusi
pengadilan dalam perkara perdata dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1)
Pelaksanaan
putusan yang menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang
Pelaksanaan putusan ini diatur dalam
Pasal 197 HIR/208 RBg, yaitu dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap
barang-barang milik pihak yang kalah perkara sampai mencukupi jumlah uang yang
harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang
dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.[10]
2)
Pelaksanaan
putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
Hal ini diatur dalam pasal 225
HIR/259 RBg, yang menentukan bahwa apabila seseorang yang dihukum untuk
melakukan sesuatu perbuatan tidak melakukannya dalam tenggang waktu yang ditentukan
maka pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada ketua pengadilan, agar
perbuatan yang tidak dilakukan oleh pihak yang kalah itu dinilai dengan
sejumlah uang.[11]
3)
Pelaksanaan
putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.
Putusan ini disebut juga eksekusi
riil, yang dimaksudkan eksekusi riil adalah putusan yang memerintahkan
pengosongan atas benda tidak bergerak, terlebih dahulu ditegur untuk
mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut.[12]
Eksekusi riil dalam HIR pasal 200
(1)/218(2) Rbg hanya mengenai eksekusi riil dalam penjualan lelang, yang
menyebutkan bahwa jika pihak yang kalah perkara tidak mau mengosongkan barang
tidak bergerak yang telah dilelang, maka ketua pengadilan mengeluarkan surat
perintah kepada petugas eksekusi dan bila perlu dengan bantuan polisi. Lebih
jelasnya, eksekusi riil diatas diatur dalam pasal 1033 RV.[13]
3.
Putusan Hakim
a.
Pengertian
putusan
Putusan merupakan hasil akhir dari
suatu sengketa. Putusan sangat diperlukan dalam penyelesaian perkara karena
putusan adalah muara dan hasil akhir dari sengketa yang timbul. Beberapa
doktrin telah mendefinisikan tentang Putusan, meskipun masing-masing doktrina
tidak mendefinisikan putusan secara sama, akan tetapi terdapat inti yang sama
dari definisi yang telah dikemukakan oleh doktrina tersebut. Sudikno
Mertokusumo memberi batasan tentang putusan hakim adalah suatu pernyataan yang
oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau sengketa antara
para pihak.
Doktrin lain yang memberikan
definisi terhadap putusan yaitu I Rubini dan Chidir Ali, mereka merumuskan
bahwa Putusan adalah[14]:
“ Putusan Hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara
dan putusan Hakim disebut juga dengan Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan
terakhir mengenai hukum dari Hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”
b.
Jenis dan Sifat
Putusan
Dilihat dari waktu penjatuhannya menurut Pasal 185 ayat (1) HIR
atau Pasal 196 ayat (1) RBg putusan dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama,
Putusan Akhir (eind vonnis) adalah suatu putusan yang bertujuan
mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat
peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung). Pada pokoknya, putusan akhir dapat berupa[15]:
1)
Putusan
Declaratoir (Declaratoir vonnis)
Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang
bersifat menerangkan bahwa telah ditetapkan suatu keadaan hukum atau menentukan
benar adanya situasi hukum yang dinyatakan oleh Penggugat maupun Pemohon.
2)
Putusan
Konstitutif (Constitutive vonnis) Putusan Konstitutif adalah putusan
Hakim yang bersifat menimbulkan hapusnya suatu keadaan hukum atau timbulnya
keadaan hukum baru yang telah ditetapkan oleh Hakim.
3)
Putusan
Kondemnatoir (Condemnatoir vonnis) Putusan kondemnatoir adalah putusan
Hakim dengan sifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi
baik melunasi hutang, melakukan suatu perbuatan ataupun menyerahkan sesuatu.
Putusan akhir
dari suatu perkara dapat pula berupa[16]:
a.
Niet Onvankelijk Verklaart
Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak
dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan
Penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan Pengadilan mengambil
keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima adalah sebgai berikut:
1)
Gugatan tidak berdasarkan hukum;
2)
Gugatan tidak patut;
3)
Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
4)
Gugatannya salah;
5)
Gugatannya kabur;
6)
Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
7)
Objek gugatan tidak jelas;
8)
Subjek gugatan tidak lengkap;
9)
Dan lain-lain.
b.
Tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan yang tidak berwenang,
baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh
Pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh
karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
c.
Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya di Pengadilan akan
dikabulkan sleuruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti seluruhnya, maka
gugatan akan dikabulkan untuk seluruhnya. Akan tetapi, apabila guagatn hanya
terbukti sebagian, maka akan dikabulakan sebagian pula sepanjang yang dapat
dibuktikan itu.
d.
Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan
Pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi
untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.
Kedua, Putusan Sela (tussen vonnis) Putusan Sela adalah
putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk
memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Hakim tidaklah
terikat pada Putusan Sela tersebut karena pemeriksaan perkara perdata harus
dianggap merupakan satu kesatuan sehingga putusan sela hanya bersifat sementara
dan bukan putusan tetap karena dengan dijatuhkannya Putusan Sela pemeriksaan
perkara akan tetap berlanjut dan belum bisa dinyatakan selesai. Putusan Sela
sendiri dapat dibagi lagi menjadi beberapa macam yang antaralain sebagai
berikut[17]:
1)
Putusan
Preparator (Preparatoir vonnis) Putusan Preparator adalah putusan yang
dijatuhkan oleh Hakim guna mengatur dan mempersiapkan pemeriksaan suatu
perkara. Putusan Preparator bersifat tidak mempengaruhi pokok perkara dan
putusan akhir itu sendiri.
2)
Putusan
Interlokutor (Interlocutoir vonnis) Putusan interlocutor adalah putusan
sela yang dijatuhkan oleh Hakim yang amarnya berisi tentang perintah pembuktian
dan dapat mempengaruhi pokok perkara.
3)
Putusan
Provisionil (Provisionil vonnis) Putusan privisionil yaitu putusan yang
karena adanya hubungan dengan pokok perkara menetapkan suatu tindakan sementara
bagi kepentingan salah satu pihak yang berperkara.
4)
Putusan
Insidentil (Incidentele vonnis) Putusan insidentil adalah penjatuhan
putusan Hakim karena adanya suatu kejadian atau insiden yang menurut sistem Rv
(Regeling Op de Rechvondeling) diartikan sebagai timbulnya kejadian yang
menunda jalannya perkara.
Formulasi atau sistematika Putusan adalah susunan yang harus
dirumuskan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit formulasi
Putusan sendiri diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR atau Pasal 195 RBg, serta
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berkaitan dengan kekuatan Putusan Hakim, sama sekali tidak ada pengaturan
secara gamblang baik dalam HIR maupun RBg, kecuali dalam Pasal180 HIR atau 191
RBg yang hanya menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Putusan Hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
putusan yang masih berpeluang untuk diajukan upaya hukum untuk melawan Putusan
tersebut, baik upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding dan
kasasi maupun upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan kembali dan Darden
Verzet.[18]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
URAIAN PUTUSAN
NOMOR 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL
Berikut adalah uraian dari putusan
Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl:
1.
Para Pihak yang
Berperkara
Pengadilan Negeri Bangkalan yang
memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata pada tingkat pertama, telah
menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara gugatan perlawanan antara:
1)
SUNI, bertempat
tinggal di Dusun Tonggur, Desa Sadah, kecamatan Galis, Kabupatren Bangkalan,
dalam hal ini memberikan kuasa kepada Samba Perwiyajaya, SH,MH, Indrarian
Polii, S.H., R.Rio Suspra Anggoro, SH dan Agung Nugraha,SH., Advokat pada
Kantor Hukum Samba, Indra & Partners Law Firm, beralamat di Jalan Ketintang
Madya 65 Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 17 Maret
2014,selanjutnya disebut sebagai Pelawan
LAWAN
2)
ASNI alias BOK
SAYUTI, bertempat tinggal di Desa Sorpa, Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan,
selanjutnya disebut sebagai Terlawan;
2.
Duduk Perkara/
Posita/Fundamentum Petendi
Dalam Register Nomor
06/Pdt.G/2014/PN.BKL, telah mengajukan gugatan perlawanan pihak ketiga (derden
verzet) sebagai berikut:
1)
Bahwa pada hari
Selasa tanggal 11 maret 2014 , Pengadilan Negeri Bangkalan, melalui surat
penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan No.19/pdt.G/1992/PN.Bkl. tanggal 18
Juni 2013, telah melaksanakan eksekusi diatas tanah milik Pelawan yang terletak
di Desa Sadah, Kec.Galis, Kabupaten Bangkalan, sebagaimana tercatat dalam kohir
Nomor :483, Persil IV klas IV , seluas : 2.6789 Ha (26.780 M2), dengan
batas-batasnya :
• Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tanah tegalan Pak Budi) ;
• Timur : Tanah.P.Honi (dahulu tanah tegalan Pak Luki ) ;
• Selatan : Tanah P.De’i (dahulu tanah tegalan B.Karmi) ;
• Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);
2)
Bahwa, dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut petugas dari Pengadilan Negeri Bangkalan telah
menghancurkan dua bangunan rumah, yang ditinggalin oleh anak-anak dari Pelawan
;
3)
Bahwa eksekusi
yang dilaksanakan oleh pihak Pengadilan Negeri Bangkalan dinyatakan sebagai
upaya paksa/eksekusi atas putusan No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl, yang telah
berkekuatan hukum tetap ;
4)
Bahwa dalam
perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. yang menjadi para pihak adalah:
1.
Nipah alias Pak
Sariyah;
2.
Bunela alias
Bok Nabiyah;
3.
Ninten alias
Buk Bukalam
4.
Bunari alias
Bok Rifa’I
5.
Bunayah alias
Pak Mathasan;
Kesemuanya
disebut sebagai Para Penggugat melawan BU ALIM alias PAK MAISU sebagai Tergugat
;
5)
Bahwa amar putusan dalam perkara No.
19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. adalah sebagai berikut :
· Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian ;
· Menyatakan bahwa Para Penggugat adalah anak-anak dari sepasang
suami istri Connek alias Pak Luki dan Ardina alias Bok Luki oleh karena
merupakan ahli waris dari almarhum dan almarhumah tersebut diatas ;
· Menyatakan bahwa sebidang tanah tegalan yang batas-batasnya adalah:
Utara : Tegal P.Busimin, Timur: Tegal P.Kattik/tamin, Selatan : Tegal Larmih,
Barat : Tegal Samadin, sebagai yang dimaksud dalam kohir (petok) D No.285
persil 4 klas IV luas 0,704 da yang tercantum atas nama nipan alias Pak Sariyah
yaitu Penggugat 1 berikut tetumbuhan yang ada diatasnya adalah hak milik para
penggugat yang diperoleh dari ayah ibunya tersebut diatas;
· Menyatakan atas penguasaan dan pengelolaan Tergugat atas tegalan
tersebut yang dilakukan sejak 25 tahun yang lalu merupakan penguasaan dan
pengelolaan yang tidak sah oleh karenanya atas perbuatannya yang telah memungut
dan menikmati atas hasil dari tanah tegalan tersebut merupakan perbuatan yang
tidak sah dan merupakan perbuatan melanggar hukum;
· Menghukum Tergugat untuk membayar uang ganti kerugian kepada para
penggugat sebagai akibat atas perbuatannya yang telah menikmati atas hasil dari
tanah tegalan tersebut dengan perhitungan dalam tiap-tiap tahunnya sebesar Rp.
310.000 (tiga ratus sepuluh ribu rupiah) terhitung dari sejak tergugat
menguasai secara tanpa hak atas tanah tegalan tersebut sampai dengan adanya
penyerahan secara nyata dari tergugat kepada para penggugat;
· Menghukum tergugat dan kepada siapa saja yang memperoleh hak
padanya untuk menyerahkan tanah tegalan tersebut yang batasbatasnya :
Utara : Tanah
yang dikuasai para penggugat,
Timur: Tanah
Tamin, Barat: Tanah Samadin,
Selatan : Tanah Karmih, berikut
tetumbuhan yang tumbuh diatasnya berupa : 10 batang pohon jeruk, 6 batang pohon
kedongdong dan 4 batang pohon kelapa dalam keadaan kosong dan bebas dari adanya
ikatan berbentuk apapun juga kepada kekuasaan para penggugat ;
· Menyatakan tidak dapat diterima gugatan penggugat untuk selebihnya;
· Membebankan biaya perkara kepada tergugat yang hingga kini ditaksir
sejumlah Rp. 109.500,-;
6)
Bahwa
berdasarkan fakta, pelaksanaan eksekusi atas putusan nomor
19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. jo surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan
,Nomor : 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl. tanggal 18 Juni 2013, diatas tanah milik Pelawan
sebagaimana tersebut diatas , telah terdapat cukup fakta terjadinya kesalahan
atas obyek eksekusi (error in objecto), karena hal-hal sebagai berikut :
1.
Obyek Eksekusi
, sebagaimana tertuang dalam gugatan perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl.
seharusnya adalah : tanah yang tercatat pada kohir (Petok D) No. 285, seluas
0,704 da, namun ternyata dilaksanakan diatas tanah milik Pelawan yang tercatat
dalam kohir (Petok D) No. 483 ;
2.
Pelaksanaan
eksekusi pada tanggal 11 Maret 2014 tersebut, ternyata juga tidak disertai
dengan proses dan tahapan pemberian teguran tertulis (anmaning) serta
tidak didahului dengan tahapan sita eksekusi dan/atau gugatan eksekusi, sebagai
dasar yang sah pada pelaksanaan eksekusi, mengingat dalam amar putusan
No.19/Pdt.G/1992/Pn.Bkl. aquo, juga tidak disertai dengan tuntutan serta adanya
penetapan sita jaminan, baik atas tanah kohir No.285 apalagi terhadap tanah
kohir No. 483 (Non Executable), sehingga Pelawan menjadi kehilangan
haknya untuk mengajukan upaya hukum perlawanan (darden verzet) atas
pelaksanaan eksekusi dimaksud ;
7)
Bahwa,
berdasarkan rangkaian terjadinya peristiwa hukum tersebut diatas, Pelawan
menjadi khawatir kejadian yang sama terulang kembali, mengingat adanya
surat-surat sebagai berikut :
1.
Putusan
No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl.,tanggal 20 Juli 1993, dengan para pihak ASNI alias BOK
SAYUTI sebagai PENGGUGAT melawan BUALIM alias BUALIM, sebagai TERGUGAT, sama
dengan Tergugat pada perkara No.19/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;
2.
Panggilan
tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 25 Oktober 2012 ;-
3.
Panggilan
tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember 2012 ;
8)
Bahwa, walaupun
amar puTusan dalam perkara No.21/Pdt.G/1992, aquo menyatakan :
DALAM PROVISI :
· Menyatakan gugatan provisi tidak dapat diterima ;
DALAM POKOK PERKARA
· Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
· Menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik setidaknya sebagai orang
yang mempunyai kedudukan berkuasa (bezitter) atas tanah tegalan yang
batas-batasnya : Utara : Tegal P.Budi, Timur : Tegal P.Luki, Selatan:Tegal
B.Amin, Barat: Tegal Samadi, Sebagai yang dimaksud dalam posita gugatan yaitu
Kohir tanah No.39 persil 4, klas D.II atas nama B.Amin Karmin ;
· Menyatakan penguasaan dan penggarapan tergugat atas tanah tegalan
tersebut merupakan penguasaan dan penggarapan yang tidak sah oleh karena
merupakan perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatigedaad);
· Menghukum Tergugat dan kepada siapa saja yang menerima hak dari
padanya untuk menyerahkan tanah tegalan tersebut dalam keadaan kosong dan bebas
dari adanya ikatan berbentuk apapun juga kepada kekuasaan Penggugat ;
· Menghukum Tergugat dan siapa saja telah menerima hak dari padanya
untuk membayar uang paksa apabila lalai melakukan penyerahan dalam tiap-tiap
hari kelalaiannya sebesar Rp. 25.000 (duapuluh lima ribu rupiah) terhitung dari
sejak putusan perkara ini telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sampai
dengan adanya penyerahan keadilan dan kelayakan ;
· Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini
ditaksir Rp. 129.000 ,- (seratus dua puluh sembilan ribu rupiah);
· Menyatakan bahwa putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi dari Tergugat ;
· Menolak gugatan Penggugat
untuk selebihnya ;
Dimana berdasarkan hukum, putusan perkara No.21/Pdt.G/1992/ PN.Bkl.
merupakan putusan non eksekutable kerena tidak disertai pernyataan adanya sita
jaminan yang sah dan berharga atas obyek sengketa, sehingga seharusnya menurut
Hukum, apabila putusan a quo hendak dilaksanakan (eksekusi),
setidak-tidaknya harus melalui tahapan sita eksekusi dan bahkan seharusnya
memalui gugatan eksekusi, karena luas tanah didalam obyek gugatan adalah tidak
jelas (kabur) ;
9)
Bahwa Pelawan
adalah pemilik sah atas tanah terletak di Desa Sadah, Kec. Galis, Kabupaten
Bangkalan, sebagaimana tercatat dalam kohir No. 483, Persil IV Klas IV, seluas
: 2, 678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :
-
Utara : Tanah
P.sariah (dahulu tanah tegalan Pak.Budi)
-
Timur : Tanah
P.Honi (dahulu tanah tegalan Pak Luki)
-
Selatan : Tanah
P.De’i (dahulu tanah tegalan B.Karmi);
-
Barat : Tanah
Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);
10)
Bahwa, kepemilikan
dan penguasaan Pelawan atas tanah miliknya tersebut diatas telah berlangsung
secara terus menerus dan secara turun menurun, setidak-tidaknya telah
berlangsung sejak tahun 1941 dan sebelumnya karena merupakan harta warisan dari
orang tua Pelawan dan bukan merupakan perolehan dari pihak ketiga lainnya,oleh
dan karenanya menurut hukum harus dilindungi dan dibebaskan dari ancaman pihak
manapun juga;
11)
Bahwa,
Perlawanan Pelawan terhadap permohonan eksekusi pihak Terlawan, yang kemudian ditindaklanjuti
oleh Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan no. 21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl,
tertanggal 25 Oktober 2012 (tersebut dalam surat anmaning I) dan No.
21/Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl, tertanggal 02 Nopember 2012 (tersebut dalam anmaning
II ), walaupun tahapan permohonan eksekusi Terlawan belum memasuki tahap sita
eksekusi dan Pelawan sebenarnya juga bukanlah salah satu pihak dalam perkara
No.21/ Pdt.G/1992/PN.Bkl, serta tanah miliknya Pelawan juga bukan obyek gugatan
dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, namun mempertimbangkan adanya
peristiwa-peristiwa sebagaimana diuraikan pada point 1 s/d. 6 diatas, maka
menurut hukum, gugatan perlawanan yang diajukan Pelawan dalam perkara ini harus
dianggap patut dan wajar serta beritikad baik, guna menghindarkan adanya pelaksanaan
eksekusi yang bertentangan dengan aturan hukum serta guna menjaga ketertiban
dan ketentraman dalam masyarakat, oleh karenanya Pelawan haruslah dianggap
sebagai Pelawan yang baik dan benar (allgoed opposant);
12)
Bahwa,
berdasarkan hal terurai diatas, karena telah cukup diuraikan adanya fakta
Pelawan bukanlah para pihak yang harus tunduk pada putusan
No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no.
483, Persil IV klas IV , seluas : 2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :
- Utara : Tanah P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi ) ;
- Timur : Tanah P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki) ;
- Selatan : Tanah P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ) ;
- Barat : Tanah Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan);
Bukanlah
obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka sudah sepatutnya
menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus dinyatakan bukanlah obyek
sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam permohonan eksekusi atas putusan
No. 21/ Pdt.G/1992/PN.Bkl;
3.
Petitum
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas,
Pelawan mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkalan yang memeriksa
perkara ini, berkenan menjatuhkan putusan, dengan amar putusan sebagai berikut
:
PRIMAIR
1.
Menyatakan
menerima dan mengabulkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan seluruhnya ;
2.
Menyatakan
Perlawanan Pelawan sebagai pihak ketiga adalah tepat dan benar ;
3.
Menyatakan
Pelawan adalah Pelawan yang baik dan benar (allgoed opposant) ;
4.
Menyatakan
bahwa obyek tanah Pelawan, sebagaimana tercatat dalam kohir No. 483, persil IV
klas IV, seluas :2,678 Ha (26.780 M2) dengan batas-batasnya :
-
Utara : Tanah
P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi ) ;
-
Timur : Tanah
P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki) ;
-
Selatan : Tanah
P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ) ;
-
Barat : Tanah
Rasma (dahulu tanah tegalan SamadiaRidwan);
Bukanlah
obyek sengketa dalam perkara No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl.
5.
Menyatakan
batal penetapan Pengadilan Negeri bangkalan No. 21/ Pen.Pdt.G/1992/PN.Bkl.
tertanggal 23 Oktober 2012 ;
6.
Menghukum
Terlawan untuk membayar biaya perkara ini ;
SUBSIDAIR
Apabila
Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aqueo
et bono)
4.
Alat Bukti
pelawan
Pelawan
telah mengajukan bukti-bukti surat sebagai berikut :
1)
Foto copy surat
ketetapan peda Letter C no.483 atas nama Soeni, diberi tanda P-1 ;
2)
Foto copy surat
keterangan obyek pajak No.ket. 2121/WPJ.09/ KB.06.3/1992, diberi tanda P-1.1 ;
3)
Foto copy surat
pernyataan tanggal 15 Mei 1992, diberi tanda P-2 ;
4)
Foto copy surat
pernyataan H.Moestofa (Kepala Desa sadah), diberi tanda P-2.1 ;
5)
Foto copy surat
Moehammad Moenir tanggal 26 Desember 2012, diberi tanda P-3 ;
6)
Foto copy
Putusan No.21/Pdt.G/1992/Pn.Bkl, tanggal 20 Juli 1993, diberi tanda P-4 ;
7)
Foto copy
panggilan tegoran (anmaning) No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, tanggal 25 Oktober 2012,
diberi tanda P-5 ;
8)
Foto copy
panggilan tegoran (anmaning) II No.21/Pdt.G/1992/ Pn.Bkl , tanggal 2 Nopember
2012, diberi tanda P-6 ;
Bukti-bukti tersebut berupa fotocopy bermeterai cukup, telah
dicocokkan dengan aslinya dan sesuai dengan aslinya, kecuali bukti P-1.1, P-3,
P-4, P-5, dan P-6, hanya berupa fotocopy tanpa diperlihatkan aslinya di
persidangan;
5.
Pertimbangan
Hukum Hakim
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan
gugatan perlawanan Pelawan yang pada pokoknya adalah mengenai Pelawan bukanlah
para pihak yang harus tunduk pada putusan No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah
milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no. 483, Persil IV klas IV, seluas :
2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :
-
Utara : Tanah
P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi),
-
Timur : Tanah
P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki),
-
Selatan : Tanah
P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ),
-
Barat : tanah
Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan).
Bukanlah obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl,
maka sudah sepatutnya menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus
dinyatakan bukanlah obyek sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam
permohonan eksekusi atas putusan No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;
Menimbang, bahwa Pelawan untuk menguatkan
dalilnya telah mengajukan alat bukti surat berupa bukti P-1 sampai dengan P-6 ;
Menimbang, bahwa sebelum Majelis
Hakim mempertimbangkan lebih lanjut bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
Pelawan tersebut kaitannya dalam dalil pokok gugatan perlawanan sebagaimana
terurai diatas, maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah
gugatan Penggugat tersebut telah memenuhi syarat formil dari gugatan yang
sempurna atau tidak ;
Menimbang, bahwa sebagaimana berita
acara sidang sejak awal persidangan Terlawan tidak pernah hadir dan ketidak
hadiran Terlawan tersebut dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sejak
tanggal 20 Agustus 1996 sebagaimana isi relas panggilan pertama tanggal 24
Maret 2014, relas panggilan kedua tanggal 3 April 2014 dan relas panggilan
ketiga tanggal 9 April 2014 disertai lampiran surat keterangan dari kepala desa
sorpa tanggal 9 april 2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok Sayuti telah
meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 dan relas panggilan tersebut telah
sah dan patut sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7
RV;
Menimbang, bahwa oleh karena
Terlawan Asni alias Bok Sayuti nyata-nyata telah meninggal dunia pada tanggal
20 Agustus 1996 sebagamana isi relas panggilan disertai surat keterangan kepala
Desa Sorpa tersebut diatas, serta keterangan Kuasa Pelawan dipersidangan
sebagaimana berita acara sidang tanggal 08 April 2014 yang menyatakan menurut
keterangan kepala desa sorpa bahwa Terlawan Asni alias Bok Sayuti meninggal
dunia pada tanggal 20 Agustus 1996. Dalam keadaan tersebut Majelis Hakim
dipersidangan telah memberitahukannya, namun kuasa pelawan menyatakan tidak
mencabut gugatannya dan tetap melanjutkan persidangan. Maka dalam hal tersebut
sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan petunjuk dari Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan
Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf R Poin 2 menjelaskan bahwa “jika
dalam proses pemeriksaan perkara tergugat meninggal dunia, maka perkara harus
dicabut terlebih dahulu oleh penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan
kembali kepada ahli waris Tergugat.;
Menimbang, bahwa lagi pula tujuan
digantikannya oleh ahli waris terhadap Terlawan yang telah meninggal dunia
dalam perkara gugatan agar putusan dapat dijalankan, jika putusan tersebut
dikabulkan. Karena jika pihak Terlawan yang nyata-nyata telah meninggal dunia
sedangkan Pelawan tetap tidak menentukan/menggantikan pihak dari Terlawan yang
telah meninggal dunia tersebut kepada pada ahli waris dalam surat gugatan
tersebut, maka konsekuensi hukumnya putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam
perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan “Dalam hal sebelum
perkara diputuskan, tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu
siapa-siapa yang menjadi akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan
itu diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan” ;
Menimbang, bahwa ditinjau juga dari
segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan fair trial (peradilan yang adil), maka
sangat beralasan jika pihak Terlawan Asni alias Bok Sayuti yang telah meninggal
dunia tersebut haruslah digantikan oleh ahli warisnya dan dijadikan pihak
Terlawan dalam perkara ini, agar memberi kesempatan kepada ahli waris Terlawan
untuk membela hak dan kepentingan dalam pemeriksaan persidangan dari pihak yang
telah meninggal dunia tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diatas menurut pendapat Majelis Hakim, gugatan
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari pelawan menurut hukum haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard);
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dinyatakan tidak dapat diterima
sebagaimana dipertimbangkan diatas, maka terhadap pokok perkara tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut dan bukti-bukti dalam perkara ini tidak perlu
dipertimbangkan lagi ;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari Pelawan dinyatakan tidak dapat
diterima, maka terhadap biaya perkara dibebankan kepada Pelawan;
Memperhatikan, Pasal 390 ayat (2)
HIR, Pasal 7 RV dan Yurisprudensi MARI tanggal 10-7-1971 Nomor : 332 K/Sip/1971
serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;
6.
Amar Putusan
MENGADILI:
1)
Menyatakan
gugatan perlawanan pihak ketiga dari pelawan tidak dapat diterima ;
2)
Menghukum
Pelawan untuk membayar biaya perkara yang sejumlah Rp.439.000,00 (empat ratus
tiga puluh sembilan ribu rupiah).
B.
PEMBAHASAN
1.
Pertimbanagn
hukum hakim dalam memutus perlawanan dinyatakan tidak dapat diterima pada
perkara Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL
Pertimbangan hakim merupakan salah
satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan
hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung
kepastian hukum, disamping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak
yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti,
baik, dan cermat.
Pada hakikatnya pertimbangan hakim
hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:
1.
Pokok persoalan
dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
Berdasarkan putusan nomor
06/Pdt.Plw/2014/PN.BKL dalam pertimbangannya hakim telah menjelaskan bahwa
maksud dan tujuan gugatan perlawanan Pelawan yang pada pokoknya adalah mengenai
Pelawan bukanlah para pihak yang harus tunduk pada putusan
No.21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, dan tanah milik Pelawan, yang tercatat dalam kohir no.
483, Persil IV klas IV, seluas : 2,678 Ha (26.780 M2), dengan batas-batasnya :
-
Utara : Tanah
P.Sariah (dahulu tegalan Pak Budi),
-
Timur : Tanah
P.Honi (dahulu tanah tegalan P.Luki),
-
Selatan : Tanah
P.De’I (dahulu tanah tegalan B.Karmi ),
-
Barat : tanah
Rasma (dahulu tanah tegalan Samadia-Ridwan).
Bukanlah
obyek sengketa dalam perkara No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl, maka sudah sepatutnya
menurut hukum tanah milik Pelawan tersebut harus dinyatakan bukanlah obyek
sengketa dan bukan obyek sita eksekusi dalam permohonan eksekusi atas putusan
No. 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl ;
Menimbang, bahwa Pelawan untuk
menguatkan dalilnya telah mengajukan alat bukti surat berupa bukti P-1 sampai
dengan P-6 ;
2.
Adanya analisis
secara yuridis terhadap segala aspek menyangkut semua fakta / hal-hal yang
terbukti dalam persidangan.
Berdasarkan putusan diatas, telah
diketahui fakta yang terbukti dipersidangan sebagaimana berita acara sidang bahwa
sejak awal persidangan Terlawan tidak pernah hadir dan ketidak hadiran Terlawan
tersebut dikarenakan Terlawan telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus
1996 sebagaimana isi relas panggilan pertama tanggal 24 Maret 2014, relas
panggilan kedua tanggal 3 April 2014 dan relas panggilan ketiga tanggal 9 April
2014 disertai lampiran surat keterangan dari kepala desa sorpa tanggal 9 april
2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok Sayuti telah meninggal dunia sejak
tanggal 20 Agustus 1996 dan relas panggilan tersebut telah sah dan patut
sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 RV;
3.
Adanya
pertimbangan-pertimbangan hakim secara yuridis (ratio decidendi) dengan titik
tolak pada pendapat para doktrina, alat bukti, dan yurisprudensi.
Pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya harus disusun secara logis, sistematis,
saling berhubungan, dan saling mengisi.
Dalam pertimbangannya hakim
menyatakan oleh karena Terlawan Asni alias Bok Sayuti nyata-nyata telah
meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996 sebagamana isi relas panggilan
disertai surat keterangan kepala Desa Sorpa tersebut diatas, serta keterangan
Kuasa Pelawan dipersidangan sebagaimana berita acara sidang tanggal 08 April
2014 yang menyatakan menurut keterangan kepala desa sorpa bahwa Terlawan Asni
alias Bok Sayuti meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1996. Dalam keadaan
tersebut Majelis Hakim dipersidangan telah memberitahukannya, namun kuasa
pelawan menyatakan tidak mencabut gugatannya dan tetap melanjutkan persidangan.
Maka dalam hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan
petunjuk dari Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Dalam Empat Lingkungan Peradilan Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf
R Poin 2 menjelaskan bahwa:
“jika dalam proses pemeriksaan perkara
tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh
penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan kembali kepada ahli waris
Tergugat.;
Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean
lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan:
“Dalam hal sebelum perkara diputuskan,
tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang menjadi
akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena
bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan.”
Hakim juga memperhatikan ketentuan Pasal
390 ayat (2) HIR, Pasal 7 RV dan Yurisprudensi MARI tanggal 10-7-1971 Nomor :
332 K/Sip/1971 serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;
4.
Adanya semua
bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan / diadili secara satu demi
satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti / tidaknya dan
dapat dikabulkan / tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.
Dalam memutus perkara Nomor
6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL hakim juga telah memberikan pertimbangannya bahwa
ditinjau juga dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan fair trial
(peradilan yang adil), maka sangat beralasan jika pihak Terlawan Asni alias Bok
Sayuti yang telah meninggal dunia tersebut haruslah digantikan oleh ahli
warisnya dan dijadikan pihak Terlawan dalam perkara ini, agar memberi
kesempatan kepada ahli waris Terlawan untuk membela hak dan kepentingan dalam
pemeriksaan persidangan dari pihak yang telah meninggal dunia tersebut;
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diatas menurut pendapat Majelis Hakim, gugatan
perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dari pelawan menurut hukum
haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard);
Oleh karena gugatan perlawanan pihak
ketiga (derden verzet) dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana
dipertimbangkan diatas, maka terhadap pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut dan bukti-bukti dalam perkara ini tidak perlu dipertimbangkan lagi
;
Oleh karena gugatan perlawanan pihak
ketiga (derden verzet) dari Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima,
maka terhadap biaya perkara dibebankan kepada Pelawan;
Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL merupakan putusan terhadap
perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Perlawanan Pihak Ketiga (derden
verzet) adalah upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga
melawan putusan hakim yang merugikannya.[19]
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) diatur dalam Pasal
195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg. Ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal
206 ayat (6) RBg tersebut diatas mengatur:
a.
Perlawanan
terhadap sita eksekutorial;
b.
Yang diajukan
oleh yang terkena eksekusi/tersita;
c.
Yang diajukan
oleh pihak ketiga atas dasar hak milik;
d.
Perlawanan
diajukan kepada Ketua pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi;
e.
Adanya
kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa/memutus perlawanan itu
untuk melaporkan atau pemeriksaan/putusan perkara perlawanan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.
Pelawan dalam perkara Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.BKL mengajukan
perlawanan pihak ketiga atau derden verzet karena Pengadilan Negeri
Bengkalan telah melakukan eksekusi terhadap rumah dan bangunan yang merupakan
milik Pelawan, dimana eksekusi tersebut dilaksanakan berdasarkan penetapan
pengadilan nomor 19/Pdt.G/1992/PN.Bkl namun yang menjadi permasalahan bahwa
tanah dan bangunan milik Pelawan yang dieksekusi bukanlah objek sengketa dalam
Penetapan tersebut. Kemudian dengan adanya Putusan Nomor 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl
dan surat peringatan Nomor 21/Pdt.G/1992/PN.Bkl dikhawatirkan hal tersebut
terulang kembali karena Pelawan bukanlah salah satu pihak dalam putusan
tersebut serta tanah hak milik Pelawan bukanlah objek sengketa dalam putusan
tersebut. Oleh karena itu Pelawan mengajukan derden verzet agar majelis
hakim menyatakan bahwa tanah yang telah dieksekusi tersebut merupakan tanah hak
milik pelawan dan bukanlah objek sengketa dalam Putusan Nomor
21/Pdt.G/1992/PN.BKl.
Agar suatu gugatan atau perlawanan
dapat dikabulkan oleh majelis hakim maka harus memperhatikan syarat formil
mengajukan gugatan. Menurut Pasal 8 RV, suatu gugatan terdiri atas[20]:
a.
Identitas Para
Pihak
Identitas itu
umumnya menyangkut:
1.
Nama lengkap
2.
Umur/tempat dan
tanggal lahir
3.
Pekerjaan, dan
4.
Alamat atau
domisili
b.
Posita
(fundamentum Petendi)
Mengenai objek gugatan ini
sedemikian pentingnya dalam perkara perdata, maka harus diuraikan secara jelas
dan terperinci mengenai objek perkara, fakta-fakta hukum, kualiffikasi
perbuatan tergugat, serta hubungan antara posita dan petitum. Hubungan antara
posita dan petitum sangat erat, karena posita adalah dasar membuat petitum.
Petitum tidak boleh bertentangan dan melebihi posita.
c.
Petitum
Petitum berisi hal-hal yang
dimohonkan untuk diputuskan oleh Hakim atau Pengadilan. petitum biasanya
terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
1)
Primair,
berisikan hal-hal pokok yang mohon dikabulkan oleh hakim/pengadilan;
2)
Subsidair,
memberi kebebasan hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair.
Menurut Pasal 8 Rv petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna
dapat berakibat tidak diterimanya gugatan atau tuntutan itu.
Untuk memutus suatu gugatan atau
perlawanan, maka terlebih dahulu diperiksa para pihak dalam gugatan atau
perlawanan itu telah lengkap atau belum, penggugat haruslah benar-benar orang
yang berhak mengajukan gugatan itu.
Jika melihat pada formalitas gugatan
diatas, perkara pada putusan nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl dalam
gugatan/perlawanannya mengenai identitas para pihaknya, maka dapat diketahui
yang menjadi Pelawan adalah SUNI, bertempat tinggal di Dusun Tonggur, Desa
Sadah, kecamatan Galis, Kabupatren Bangkalan, dalam hal ini memberikan kuasa
kepada Samba Perwiyajaya, SH,MH, Indrarian Polii, S.H., R.Rio Suspra Anggoro,
SH dan Agung Nugraha,SH., Advokat pada Kantor Hukum Samba, Indra & Partners
Law Firm, beralamat di Jalan Ketintang Madya 65 Surabaya, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 17 Maret 2014. Sedangkan yang menjadi Terlawan adalah ASNI
alias BOK SAYUTI, bertempat tinggal di Desa Sorpa, Kecamatan Galis, Kabupaten
Bangkalan.
Dalam Persidangan Terlawan yaitu
Asni alias Bok Sayuti tidak hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil
secara sah dan patut menurut hukum dengan relas panggilan:
a.
relas panggilan
pertama tanggal 24 Maret 2014,
b.
relas panggilan
kedua tanggal 3 April 2014, dan
c.
relas panggilan
ketiga tanggal 9 April 2014,
Dalam persidangan Terlawan tidak
pernah hadir dan ketidak hadiran Terlawan tersebut dikarenakan Terlawan telah
meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996 lampiran surat keterangan dari
kepala desa sorpa tanggal 9 april 2014 yang menerangkan bahwa Asni alias bok
Sayuti telah meninggal dunia sejak tanggal 20 Agustus 1996.
Sesuai dengan ketentuan hukum acara
perdata bahwa terhadap pihak Terlawan yang telah meninggal dunia, maka perkara
tersebut harus dicabut terlebih dahulu oleh Pelawan dan mengajukan gugatannya
kembali kepada ahli waris Terlawan.
Berdasarkan Pasal 390 ayat (2) HIR
yang berbunyi:
“Jika orang itu sudah meninggal
dunia, maka surat jurusita itu disampaikan pada ahli warisnya; jika ahli
warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa di tempat tinggal yang
terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku
menurut aturan yang disebut pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia
itu masuk golongan orang Asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan
surat tercatat pada Balai Harta Peninggalan”.
Selanjutnya dalam Pasal 7 RV disebutkan:
“Terhadap orang-orang yang telah
meninggal dunia, pemberitahuan gugatan dan pemberitahuan-pemberitahuan lainnya
dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa menyebut nama dan
tempat tinggalnya, di tempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi
waktu enam bulan setelah meninggalnya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila
tergugat/terlawan atau orang yang hendak dipanggil ke persidangan telah
meninggal dunia, tata cara pemanggilan yang digunakan dipengaruhi
keadaan-keadaan berikut ini:
a.
Ahli waris
dikenal, apabila ahli waris dikenal, pemanggilan dijukan kepada semua ahli
waris secara sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu
per satu. Pemanggilan disampaikan ke tempat tinggal pewaris (tergugat/terlawan
yang meninggal dunia) yang terakhir. Dalam surat pemanggilan, cukup disebut
nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal.
b.
Ahli waris
tidak dikenal, pemanggilan disampaikan kepada kepala desa atau lurah di tempat
tinggal terakhir pewaris. Selanjutnya, kepala desa segera menyampaikan
pemanggilan tersebut kepada ahli waris dari pewaris. Jika kepala desa tidak
mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada juru
sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal.
Atas dasar penjelasan kepala desa tersebut, juru sita dapat menempuh tata cara
melalui panggilan umum.
Ketentuan ini adalah layak dan
bijaksanan , sebab di dalam suatu perkara perdata bukan hanya kepentingan
penggugat sajalah yang harus diperhatikan melainkan kepentingan tergugatpun
harus pula diperhatikan (audi et alteram partem).[21]
Dalam perkara pada putusan Nomor
6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl tersebut pemanggilan terlawan telah sah dan patut
sebagaimana yang dikehendaki Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv.
Dikarenakan Terlawan telah meninggal
dunia sehingga pemeriksaan pokok perkara tidak dapat dilanjutkan dan Hakim
telah memberikan kesempatan kepada pelawan untuk mencabut perlawanannya guna
memperbaiki gugatan yaitu dengan menjadikan ahli waris Asni alias Bok Sayuti. Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata dan petunjuk dari Buku II
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan
Peradilan Mahkamah Agung RI edisi 2007 halaman 70 huruf R Poin 2 menjelaskan
bahwa:
“jika dalam proses pemeriksaan perkara
tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh
penggugat, selanjutnya penggugat dapat mengajukan kembali kepada ahli waris
Tergugat.;
Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332 K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean
lawan Saleh Bisjir, yang menyatakan:
“Dalam hal sebelum perkara
diputuskan, tergugat meninggal haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang
menjadi akhli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan,
karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan.”
Akan tetapi pelawan tidak berkenan
untuk mencabut perlawanannya. Dengan berdasarkan alasan diatas, dengan tanpa
memeriksa pokok perkara hakim menjatuhkan putusan tidak dapat diterima.
2.
Akibat Hukum
dari putusan yang menyatakan tidak dapat diterima pada putusan Nomor
6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl
Telah dijelaskan diatas bahwa suatu
putusan terdiri dari putusan akhir dan putusan sela, namun perlu diketahui
putusan sela hanya bersifat sementara. Putusan akhir terdiri dari putusan yang
menyatakan:
1.
Dikabulkan;
2.
Gugatan tidak
dapat diterima;
3.
Gugatan ditolak.
Berdasarkan putusan No.6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl karena gugatan
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) karena terlawan telah meninggal
dunia seharusnya diganti oleh ahli waris akan tetapi pelawan tidak mencabut
gugatannya sehingga patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima.
Akibat putusan dinyatakan tidak dapat diterima maka:
1.
Hubungan hukum
antara pelawan dan terlawan kembali seperti keadaan awal sebelum dilakukan
perlawanan;
2.
Pelawan dapat
mengajukan kembali perlawanannya dengan memperbaiki gugatan perlawanannya yaitu
dengan menjadikan ahli waris Terlawan (Asni alias Bok Sayuti) sebagai Terlawan;
3.
Pelawan harus
menanggung seluruh biaya yang timbul dari adanya perlawanan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada BAB II diatas, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pelawan dalam
Perkara Putusan Nomor 6/Pdt.Plw/2014/PN.Bkl telah dipanggil secara sah dengan
relas panggilan 1 sampai 3 dengan disertai surat keterangan dari kepala desa
bahwa ternyata Terlawan telah meninggal dunia;
2.
Hakim dalam
mempertimbangkan putusannya telah sesuai dengan Pasal 390 ayat (2) HIR dan
Pasal 7 Rv yaitu apabila Terlawan meninggal dunia maka harus digantikan dengan
ahli warisnya;
3.
Selain itu
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10-7-1971 Nomor.332
K/Sip/1971 dalam perkara G.H. Panggabean lawan Saleh Bisjir, apabila Terlawan
meninggal dunia maka harus ditentukan ahli warisnya dan dijadikan sebagai
Terlawan, dengan demikian hakim menyarankan untuk mencabut Perlawanan Derden
verzet, akan tetapi Pelawan tidak berkenan untuk mencabut dan tetap
melanjutkan proses pengadilan sehingga putusan dinyatakan tidak dapat diterima;
4.
Akibat dari
putusan tidak dapat diterima adalah hubungan hukum antara Pelawan dan Terlawan
kembali seperti sebelum dilakukan Derden Verzet, dan Pelawan dibebankan untuk membayar seluruh
biaya perkara yang timbul dari adanya perlawanan tersebut.
[1] Darwan Prinst,
Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata Cetakan Ketiga Revisi,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 1
[2] Loc Cit
[3] Retnowulan
Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 129
[4] Ibid, hal. 130
[5] Op Cit,
Hal. 226
[6] Zainul Bahri,
Kamus Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, Hal. 61
[7] Djamanat
Samosir, Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, Nuansa
Aulia, Bandung, 2011, Hal. 325-326
[8] Victor M.
Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan
eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hal 120
[9] Roihan A.
Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, Hal
223
[10] Djamanat
Samosir, Op Cit hal. 338
[11] Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984,
Hal. 135
[12] Ibid, hal. 137
[13] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal.
210-211
[14] Muhammad Saleh
dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Perspektif Teoritis,
Praktis dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2012, Hal. 192
[15] Ibid,
Hal. 201
[16] Darwan Prinst,
Op Cit, Hal. 203
[17] Ibid,
hal. 200
[18] Yahya Harahap,
Hukum Acara Perdata cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal.
877-878
[19] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990, hal. 275
[20] Darwan Prinst,
Op Cit, hal 34-38
[21] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata, yogyakarta, liberty, 2002,
hal 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar