TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
“ANALISIS MENGENAI FENOMENA ANAK JALANAN SEBAGAI PELANGGARAN HAM DI PURWOKERTO”
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
“ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya, yang masih dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU, Nomor 39 Tahun 1999)
Indonesia merupakan negara berkembang yang identik dengan kemiskinan. Jadi masih banyak kita temui kemiskinan dimana-mana. Baik di kota maupun didesa. Kondisi demikian sangat memprihatinkan dan harus segera di atasi. Banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah untuk mengatasinya seperti transmigrasi penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya, program KB, dan lain-lain. Tapi upaya tersebut masih belum menemui titik terang dan bahkan pemerintah terkesan tidak serius dalam mengahadapi fenomena tersebut. Dan masalah kemiskinan tersebut bukannya berkurang malah semakin bertambah banyak.
Akibat dari kemiskinan ini dapat kita rasakan dan sangat sering kita temui. Banyak anak-anak dibawah umur yang malah bekerja sebagai pengamen dan pengemis. Contoh kasus seperti ini sudah sangat sering terjadi dapat di lihat di emperan pasar, lampu merah dan di tempat-tempat umum yang lainnya.
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihahan hidup yang diinginkan oleh siapapun. melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan alienatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.
Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD 1945 pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak jalanan) juga harus menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah angkat tangan dalam menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah melakukan razia baik untuk gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun anak jalanan. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah solusi, karena akar dari permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah kemiskinan. Jadi kalau ingin tidak ada anak jalanan ataupun gepeng pemerintah harusnya memikirkan cara mengentaskan mereka dari kemiskinan. Mengentaskan kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain dengan cara meningkatkan pendidikan pada anak jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain.
Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas penulis melalui makalah ini akan mencoba menganalisis mengenai “Fenomena Anak Jalanan Sebagai Kasus Pelanggaran HAM Di Purwokerto”.
Rumusan Masalah :
Apakah fenomena anak jalanan di Purwokerto dapat dikatagorikan sebagai kasus pelanggaran ham ?
Apa saja faktor-faktor yang mendorong seorang anak menjadi seorang pengamen, pengemis dijalanan ?
Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak-anak jalanan yang menjadi seorang pengemis dan pengamen di jalanan ?
Tujuan :
Untuk mengetahui fenomena anak jalanan di purwokerto sebagai kasus pelanggaran HAM dan apa saja faktor pendorongnya.
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak jalanan tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi dan Pengelompokan Anak Jalanan
Departemen Sosial RI mendefinisikan, “anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunyauntuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat lainnya”.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).
Himpunan mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota (HIMMATA) mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu :
anak semi jalanan dan anak jalanan murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya (Asmawati, 2001 : 28 ).
Sedangkan menurut Tata Sudrajat (1999:5) anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu :
Pertama, Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan (anak yang hidup dijalanan / children the street).
Kedua,anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan (Children on the street).
Ketiga, Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan ( vulnerable to be street children).
Sementara itu menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999 ; 22-24) anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :
Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
Secara garis besar terdapat dua kelompok anak jalanan, yaitu :
Kelompok anak jalanan yang bekerja dan hidup di jalan. Anak yang hidup di jalan melakukan semua aktivitas dijalan, tidur dan menggelandang secara berkelompok.
Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan (masih pulang ke rumah orang tua).
Sampai saat ini istilah “Anak Jalanan” belum tercantum dalam Undang-Undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa Undang-Undang yang menyangkut tentang anak-anak terlantar. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini paling tidakada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu.
Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “Bapak Bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anakyang menyebutkan “anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.
Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan." Begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.
UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.
Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum Undang-Undang yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (Undang-Undang kesejahteraan Anak Pasal 10, Undang-Undang Perkawinan Pasal 49, KUHPerdata Pasal 319 tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.
Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidakkonsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba, dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.
Faktor Pendorong Timbulnya Anak Jalanan
Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya anak jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena tekanantekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota (Parsudi Suparlan, 1984 : 36).
Sedangkan menurut Saparinah Sadli (1984:126) bahwa ada berbagai faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan, antara lain: faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesempatan kerja (faktor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.
Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin, 2000:11) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena:
Kekrasan dalam keluarga.
Dorongan keluarga.
Ingin bebas.
Ingin memiliki uang sendiri.
Pengaruh teman atau lingkungan sekitar.
Beragam faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya anak jalanan adalah faktor kondisi sosial ekonomi di samping karena adanya faktor broken home serta berbagai faktor lainnya.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Di Purwokerto dan Analisisnya
Gambar 1
Gambar 1 diatas merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran HAM yang ada di purwokerto. Seorang anak kecil terlihat sedang mengamen di lalu lintas dengan hanya mengandalkan suaranya yang lirih dan tepukan tangannya sebagai iringin musik untuk lagu yang sedang dinyanyikannya.
Gambar 2
Dari gambar 2 diatas dapat dilihat seorang anak kecil yang masih dibawah umur sedang terlelap diemperan toko. Foto ini diambil secara tidak sengaja saat penulis sedang pergi ke pasar wage untuk mencari kebutuhan.
Berdasarkan kedua gambar diatas menurut penulis fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai kasus pelanggaran HAM. Seorang anak apalagi masih dibawah umur mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, kehidupan yang layak agar menumbuhkan dampak positif pada masa depan sang anak nantinya.
Namun dapat dilihat berdasarkan gambar diatas membuktikkan bahwa adanya ekploitasi anak baik dalam bidang ekosnomi maupun sosial. Anak dipekerjakan oleh orang tuanya dikarenakan tuntutan ekonomi keluarga serta seorang anak yang dibiarkan tertidur di depan toko yang sebenarnya hal tersebut sangat tidak layak dan telah melanggar hak-hak sang anak untuk mendapatkan pengidupan yang layak dan tempat tinggal. Kedua gambar tersebut juga membuktikan bahwa adanya kekerasan ekomi yang dialami oleh sang anak , yaitu pada anak-anak kekerasan jenis ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia dibawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga, sehingga fenomena penjual koran, pengamen jalanan, pengemis anak bahkan dapat pula berupa tindakan kriminal seperti pemalakan, pencopetan dan lain-lain kian merebak terutama diperkotaan.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal 52 – 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Adapun ketentuan pidananya yang berkaitan dengan fenomena anak jalanan ini :
Dengan bercermin pada kasus-kasus di atas, sebagai bangsa yang memiliki komitmen terhadap penegakan hak asasi manusia, kita bertekad untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lebih baik. Kita telah memulainya dengan amandemen UUD 1945 yang telah memberi ruang bagi pengakuan hak-hak warga negara. Kita juga telah mencabut dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang telah menjerat, hak-hak asasi warga negara selama ini.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa kita membiarkan atau melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. Sebagai negara hukum, kita patut mengusahakan penyelesaian secara hukum terhadap setiap pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Dengan demikian, rasa keadilan dan supremasi hukum di negara kita dapat semakin berkembang. Tekad ini tentu harus pula diiringi dengan sikap rekonsiliasi dan kerja sama antarsesama warga negara Indonesia. Dengan cara ini, kita akan dapat menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lebih baik.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 22). Demikian juga masyarakat yang diwujudkan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25). Sedangkan orang tua bertanggung jawab mengasuh memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Selain itu jika orang tua mereka tidak mampu untuk melaksanakan tanggung jawabnya, maka anak jalanan menjadi tanggung jawab pemerintah (pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014).
Ketentuan Pidananya :
Berikut adalah beberapa ketentuan pidana atas pelanggaran dan tindakan kejahatan mengenai anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
Pasal 77 menyatakan ‘Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pasal 80 menyatakan :
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.”
Kehadiran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di daerah semakin pentik untuk menyosialisasikan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat melakukan penelaahan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Tanpa sinergi dan kerjasama dengan pihak terkait lainnya KPAI pun tidak mungkin bisa bekerja dengan maksimal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Permasalahan anak putus sekolah (anak jalanan) akan semakin rumit jika dibiarkan saja. Semakin hari angka tersebut akan semakin tinggi, jika tidak dilakukan upaya tegas dari pemerintah. Banyaknya anak putus sekolah dan beralih menjadi anak jalanan sebab yang mendasar adalah masalah ekonomi keluarga.
Disini peran pemerintah sangat diperlukan. Untuk menanggulanginya pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja, program kredit usaha rakyat atau koperasi, memberikan ketrampilan dan modal usaha agar para orang tua bekerja dan mampu menyekolahkan anak mereka. Dan yang terpenting adalah sosialisasi atau kampanye tentang arti penting pendidikan. Memberikan pemahaman tentang arti penting dari generasi sekarang untuk masa depan bangsa ini.
Saran
Sebaiknya pemerintah harus terus konsisten untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak jalanan agar mereka tidak kembali lagi hidup di jalanan dan juga bisa memperbaiki kehidupan mereka kedepannya. Pembuatan sekolah murah dan program orang tua asuh juga harus terus digalakkan untuk memperkecil angka anak jalanan. Orang tua juga sebisa mungkin memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada anak mereka agar anak mereka menjadi betah di rumah dan tidak turun ke jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar