PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP
CERAI PAKSA AKIBAT ORANG TUA ISTRI
TIDAK MEMBERI RESTU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Islam adalah agama yang syumul atau universal, agama yang mencakup
semua sisi kehidupan serta mengatur kehidupan di muka bumi ini maupun di
akhirat yang tertuang dalam wahyu Allah SWT yaitu Al-Qur’an, ada pula
pengaturan mengenai hukum Allah SWT yang dapat dijumpai dalam Hadits Nabi SAW
maupun catatan-catatan lain dari sahabat Nabi serta para ulama yang dijadikan
sebagai pedoman manusia dalam melaksanakan segala urusan duniawi serta untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang dihadapi manusia di dunia.
Salah satu yang diatur di dalam hukum Islam adalah mengenai
perkawinan. Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang islami.
Keluarga merupakan suatu ikatan hidup yang didasarkan karena terjadinya
perkawinan, juga disebabkan karena persusuan, atau munculnya perilaku
pengasuhan. Setiap orang atau pasangan (pria
dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan
kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan
suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya
ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.[1]
Berdasarkan hukum Islam, perkawinan adalah sebuah kewajiban bagi
setiap
manusia, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk berpasang-pasangan yaitu dengan
mengikatkan diri melalui perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan.
Perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam masyarakat antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Dalam perjanjian biasa para pihak
adalah pada pokoknya mempunyai sifat merdeka atau bersifat bebas untuk
menentukan sendiri isi perjanjiannya, asalkan perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan Ketertiban umum. [2]
Perkawinan sebagai suatu ikatan yang sah menurut hukum islam untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di jaman modern ini tak Jarang terjadi perceraian sebagai penghapusan
perkawinan, karena Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas
dari kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan
hubungan antar keluarga suami isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut
berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya
dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam tubuh keluarga. Dalam kehidupan
sebuah keluarga pasti ada perbedaan, terkadang perbedaan tersebut yang
menyebabkan terjadinya perselisihan tidak hanya antara suami istri saja namun
bisa antara suami istri tersebut dengan kerabat keluarga yang lain
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan
suami isteri tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. sehingga
antara suami dengan isteri apabila telah bercerai maka tidak ada lagi ikatan
perkawinan oleh keduanya. Perceraian menurut Ahli Fikih di sebut Talaq atau
Firqoh. Talak artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah
syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan
perkawinan.[3]
Alasan seseorang melakukan perceraian pun bermacam-macam, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena
alasan-alasan sebagai berikut:
a)
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c)
Salah
satu pihak mendapatkan hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
d)
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak yang
lain;
e)
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat atau tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f)
Antara
suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
lagi harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
Namun didalam hukum Islam mengenai perceraian atau talak, Islam
tidak melarang tidak juga memperbolehkan, akan tetapi dilihat dari permasalahan
sebab dan akibatnya. Dalam hukum Islam yang dapat mengajukan cerai adalah
suami, yaitu dengan cerai talak, sedangkan istri dapat mengajukan perceraian
terhadap suami dengan cerai gugat melalui pengadilan. Namun ada pula yang
bercerai karena alasan dan faktor lain, selain yang disebutkan diatas, salah
satunya karena adanya orang tua yang menghalangi hubungan rumah tangga suami
istri karena perbedaan pendapat antara orang tua dengan anak atau menantunya,
dimana anak terpaksa dinikahkan karena hamil diluar nikah, padahal orang tua
tidak merestui hubungan anak sebagai istri dari suaminya yang telah
menghamilinya.
Selain itu juga karena menantu yang berkelakuan tidak baik sehingga
mertua merasa anaknya tidak pantas bersama suaminya tersebut karena akan
menimbulkan efek atau akibat buruk terhadap anaknya. Maka disini akan dibahas mengenai
hak orang tua untuk menceraikan atau memerintahkan anak sebagai istri dari
pasangannya untuk bercerai dikarenakan orang tua istri tidak memberi restu
kepada anaknya untuk menikah atau melakukan perkawinan dengan laki-laki yang
menjadi suami istri.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pandangan hukum islam terhadap cerai paksa?
2.
Apakah
hukum bagi orang tua istri yang meminta anaknya untuk bercerai?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
1.
Untuk
mengetahui pandangan hukum Islam terhadap cerai paksa;
2.
Untuk
mengetahui hukum cerai gugat akibat paksaan pihak ketiga berdasarkan hukum
Islam.
D.
KEGUNAAN
PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Adapun yang diharapkan
dari penelitian ini adalah:
1.
Dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti, kalangan akademisi dan juga
masyarakat mengenai hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian
khususnya cerai paksa menurut hukum Islam;
2.
Dapat
memberikan informasi kepada masyarakat atau pembaca mengenai hukum perceraian,
khususnya cerai paksa akibat orang tua istri yang tidak memberi restu.
E.
MANFAAT
PENELITIAN
1.
Manfaat
teoritis
Diharapakan dari penelitian ini dapat menambah konstribusi
pengetahuan tentang pandangan hukum islam terhadap cerai paksa akibat orang tua
istri tidak memberi reestu sekaligus memperkaya teori kepustakaan hukum
khususnya hukum Islam dan Hukum Perkawinan.
2.
Manfaat
Praktis
Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pemecahan masalah yang di
hadapi oleh Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus cerai paksa akibat orang
tua istri tidak memberi restu berdasarkan hukum Islam.
F.
KERANGKA
TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang
berkaitan dengan Hukum Islam antara lain:
1.
Teori
Receptieo in Complexu
Teori ini dikemukakan oleh ahli hukum dan kebudayaan Belanda pada
Tahun 1800. Teori ini menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam
walaupun dengan sedikit menyimpang. Teori ini sangat kuat pengaruhnya dan
caracara berfikir ahli hukum belanda didasarkan pada kenyataan yang ada dan
berkembang dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam. Dibuktikan dengan
dikeluarkannya Stb. 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura.
2.
Teori
Eksistensi
Bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum Nasional yaitu:
1)
Hukum
Islam ada dalam arti berfungsi sebagai bagian integral dari hukum Nasional;
2)
Hukum
Islam ada dalam arti berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum Nasional;
3)
Hukum
Islam ada dalam arti diakui kemandiriannya, kekutannya, dan diberi status
sebagai hukum Nasional;
4)
Hukum
Islam ada dalam arti sebagai bahan hukum utama dan unsur utama dalam pembentukan
hukum Nasional.
3.
Teori
Lingkaran Konsentris
Dikembangkan oleh H.M. Tahir Azhari. Teori ini menggambarkan
hubungan erat antara agama, hukum dan negara. Ketiga komponen ini apabila
disatukan akan membentuk lingkaran konsentris yang merupakan satu kesatuan dan
berkaitan erat antara yang satu dengan yang lain. Agama sebagai komponen
pertama berada pada posisi lingkaran terdalam, karena merupakan inti dari
lingkaran tersebut, baru kemudian disusul hukum berikutnya adalah negara.
Teori ini digunakan untuk menjelaskan hukum
Islam dalam kaitannya dengan hukum nasional Republik Indonesia.
4.
Teori
Penerimaan Autorita Hukum
Teori ini dikembangkan oleh H.A.R. Gibb. Bahwa setiap sistem hukum
menyatakan orang-orang yang terikat dengan hukum harus bersedia mengakui otoritasnya
dan mengakui bahwa hukum tersebut mengikat mereka walupun mereka boleh jadi
melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum tertentu dalam hukum. Teori ini
digunakan untuk menegaskan hubungan seorang muslim dengan hukum islam sebagai
suatu kewajiban yang mengikat secara imani, kaitannya dengan hukum islam dengan
yang diberlakukan di negara Indonesia berdasarkan Ideologi Pancasila dan UUD
1945.
5.
Teori
Maqosid AL-Syari’ah Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq
al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan
kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan.
Teori ini hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang
mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT.
Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut akan melahirkan
keyakinan untuk menerapkan hukum Allah SWT, bila menginginkan terwujudnya
kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Selain teori-teori mengenai hukum Islam diatas, penulis juga
memberikan kerangka konseptual untuk melakukan penelitian yuridis normatif
mengenai cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi restu yaitu sebagai
berikut:
Perkawinan
Perkawinan secara umum adalah bersatunya dua pribadi antara
laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah, sebagaimana diatur dalam agama
Islam. Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau
perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua
orang laki-laki. Ada beberapa pendapat para ahli tentang perkawinan yaitu:
1.
Scholten
menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara.[5]
2.
Menurut
Subekti sebagaimana dikutip pada buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk waktu yang lama.[6]
3.
Sedangkan
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.[7]
Menurut hukum Islam, perkawinan adalah satu akad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta
kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.
Rukun
dan Syarat Perkawinan
Bagi setiap orang yang beragama Islam wajib menunaikan rukun dan
syarat perkawinan dengan sempurna sebelum melakukan perkawinan, hal ini agar
perkawinan menjadi sah berdasarkan hukum Islam dan juga peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia, dan berikut
adalah lima rukun yang harus dipenuhi agar perkawinan menjadi sah yaitu:
1.
Wali
nikah
Wali nikah adalah orang yang berhak mengawinkan seorang wanita
dengan seorang laki-laki yang menjadi pasangannya, tanpa wali nikah, maka
seorang wanita tidak sah untuk dinikahkan. Secara garis besar, wali nikah ada
dua macam yaitu wali nikah khusus dan wali nikah umum.
1)
Wali
nikah khusus adalah semua orang laki-laki yang berhak menjadi wali wanita yang
akan menikah, baik orang tua ataupun kerabatnya.
2)
Wali
nikah umum atau disebut wali hakim adalah wali dari petugas Kantor Urusan Agama
(KUA)
2.
Calon
Pengantin perempuan (Istri)
Istri adalah seorang perempuan tertentu yang bukan merupakan
perempuan mahram dari bakal suami yang tidak sedang berada dalam masa iddah
atau ihram haji atau umrah dan bukan merupakan istri dari seorang laki-laki
lain.
3.
Calon
Pengantin laki-laki (Suami)
Suami adalah seorang laki-laki tertentu yang bukan mahram dengan
calon istri dan mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah yang akan
dilaksanakannya. Calon pengantin laki-laki atau suami yang melakukan perkawinan
dengan calon pengantin perempuan harus dengan kerelaan sendiri dan bukan
merupakan paksaan.
4.
Dua
orang saksi laki-laki
Saksi adalah seorang laki-laki yang dapat mendengar, melihat, dan
berbicara serta memahami kandungan lafaz Ijab qabul yang terdiri dari
sekurang-kurangnya dua orang saksi perkawinan.
5.
Ijab
qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan yang
dinamakan dengan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Ijab dilakukan
oleh pihak wali mempelai perempuan, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki. Ijab dan qabul harus dilakukan dalam satu majelis dan tidak boleh
ada jarak yang lama antara Ijab dan Qabul.
Asas
dan Prinsip Perkawinan menurut Hukum Islam
Selain harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan, juga harus
mengetahui terlebih dahulu mengenai asas dan prinsip perkawinan menurut hukum
Islam sebagai berikut:
1.
Harus
terdapat persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan, caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui
apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2.
Tidak
semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, karena ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.
Perkawinan
harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu baik yang menyangkut
kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu
sendiri.
4.
Perkawinan
pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang
tentram, damai dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
5.
Hak
dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga adalah suami.
Perceraian
Berbicara
mengenai perkawinan tak lepas juga terhadap permasalahan yang timbul dari
adanya perkawinan tersebut yang berujung kepada perceraian. Secara umum Perceraian
adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan atas
kehendak suami dan istri tersebut karena adanya putusan pengadilan. Soebekti mendefinisikan bahwa “Perceraian ialah penghapusan
perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan.[8]
Dalam hukum
Islam cerai artinya Talak yang diartikan sebagai lepasnya ikatan perkawinan dan
berakhirnya hubungan perkawinan. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang
beragama Islam dan di ajukan oleh pihak suami. Cerai
talak adalah istilah yang khusus digunakan dilingkungan Peradilan Agama untuk
membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang
mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah
isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa :
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”
Untuk
mengetahui letak perbedaan macam-macam penyebab putusnya perkawinan,
penjelasannya sebagai berikut:
1.
Cerai
Talak
Menurut
syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafadz talak atau
lafadz sejenis yang sama maksudnya. Talak merupakan jalan penyelesaian yang
terakhir sekiranya suami dan istri tidak dapat hidup bersama dan mencari kata
sepakat untuk mencapai kebahagiaan berumahtangga. Talak merupakan perkara yang
dibenci Allah SWT tetapi dibenarkan dengan melihat alasan dan sebab akibatnya.
Hukum
Talak adalah sebagai berikut:
1)
Wajib
a.
Jika
permasalahan suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi dan untuk menghindari
akan munculnya bahaya lain jika tidak bercerai;
b.
Dua
orang wakil dari pihak suami atau istri gagal untuk mendamaikan rumah tangga
mereka;
c.
Apabila
pihak hakim berpendapat bahwa talak adalah lebih baik.
2)
Haram
a.
Menceraikan
istri ketika sedang haid atau nifas;
b.
Ketika
keadaan suci yan telah disetubuhi;
c.
Ketika
suami sedang sakit yang bertujuan menghalang istrinya daripada menuntut harta
pusakanya;
d.
Menceraikan
istrinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang
kali sehingga cukup tiga kali atau lebih.
3)
Sunah
a.
Suami
tidak mampu menanggung nafkah istrinya;
b.
Istrinya
tidak menjaga harga dirinya sebagai wanita (muru’ah);
4)
Makruh
Suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, berakhlak mulia
dan mempunyai pengetahuan agama;
5)
Harus
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau istrinya belum datang haid
atau telah putus haidnya.
2.
Cerai
Gugat (Khulu’)
Talak khulu’ adalah gugatan dari istri untuk bercerai dengan
suaminya. Khulu’ menurut ahli fiqh adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya.
Hukum cerai gugat menurut hukum Islam yaitu sebagai berikut:
1)
Mubah
Jika istri sudah benci tinggal bersama dengan suaminya karena
kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak
dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT dalam ketaatan kepadanya.
2)
Haram
a.
Dari
sisi suami:
Apabila suami menyusahkan istrinya dan memutus hubungan komunikasi
dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar
istri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai.
b.
Dari
sisi istri:
Apabila seorang istri meminta cerai padahal hubungan rumah
tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran diantara
pasangan suami istri tersebut.
3)
Sunah
Apabila suami berlaku meremehkan hak-hak Allah SWT, maka istri
disunahkan untuk Gugat Cerai.
4)
Wajib
Khulu’ hukumnya menjadi wjib pada sebagian keadaan seperti suami
tidak pernah melakukan sholat padahal telah diingatkan. Dan jika istri murtad
karena suaminya akan tetapi tidak diakui oleh hakim pengadilan.
Dalam
terjadinya perceraian banyak sekali alasan-alasan yang dikemukakan, salah
satunya yang dibahas dalam penelitian ini yaitu adanya paksaan dari pihak
ketiga baik orang tua ataupun kerabat keluarga yang lain, sedangkan jika
dilihat dari esensi perkawinan atau tujuan perkawinan maka banyak sekali alasan
yang akan dijumpai. Dalam hal terpaksa bercerai karena adanya perintah atau
paksaan dari pihak lain, hal ini tidak harus dilakukan apabila perkawinan
tersebut telah sah menurut hukum Agama dan hukum Negara.
Cerai paksa
adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan tidak
berdasarkan kehendak suami dan istri, tetapi bisa hanya berdasarkan kehendak
salah satu pihak saja yaitu istri atau suami saja, atau orang/pihak lain diluar
perkawinan tersebut seperti orang tua atau saudara lainnya dengan berbagai
alasan yaitu bahwa orang tua istri tidak memberi restu terhadap pernikahan
mereka, karena anaknya terpaksa dinikahkan karena telah hamil diluar nikah,
dapat juga karena suami tidak bertanggung jawab terhadap istrinya sehingga
orang tua tidak lagi menghendaki mereka untuk hidup bersama. Selain itu dapat
karena sang suami berkelakuan tidak baik terhadap rumah tangganya maupun
keluarga sehingga orang tua atau kerabat keluarga merasa terganggu atau tidak
menginginkan jika istrinya tetap menjalin ikatan perkawinan dengan suaminya.
Meskipun disisi
lain seorang perempuan yang telah menikah harus menuruti setiap perkataan suami
dan harus patuh kepada suami daripada orang tuanya, akan tetapi istri juga
mempertimbangkan sebab akibat yang akan dialami jika perkawinannya tetap
dipertahankan, maka bisa jadi istri kehilangan keluarganya karena keluarga
tidak lagi menganggap sebagai bagian dari keluarga tersebut.
G.
METODE
PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan
penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan
menganalisis sampai menyusun laporannya.[9]
Untuk memeroleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka
penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yang merupakan
penelitian hukum kepustakaan, yaitu
pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum
adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga
memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan
terlepas dari kehidupan masyarakat.[10]
2.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh peneliti menggunakan
tipe Deskriptif analitis yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran, menuliskan,
dan melaporkan suatu obyek atau suatu peristiwa juga akan mengambil kesimpulan
umu dari masalah yang dibahas.
3.
Lokasi Penelitian
Penelitina ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas
Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman dan instansi yang terkait dengan obyek penelitian yaitu Pengadilan
Agama Kabupaten Banyumas untuk mencari penyelesaian permasalahan tentang cerai
paksa akibat orang tua yang tidak memberi restu.
4.
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa:
1)
Bahan
Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
traktat, dan perjanjian yang berkaitan dengan hukum perkawinan yaitu:
a.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
b.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
d.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;
e.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
2)
Bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang bersumber dari pendapat
ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan
perceraian khususnya cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi restu.
3)
Bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya
dengan perceraian yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
5.
Metode Pengumpulan Bahan Hukum
1)
Bahan
Hukum Primer
Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan
menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada
relevansinya kemudian disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dikaji.
2)
Bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah
diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya
dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian selanjutnya dilakukan
pengajian sebagai satu kesatuan yang utuh.
6.
Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian naratif
yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan. Keseluruhan
data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok
permasalahan yan diteliti sehingga menjadi satu kesatuan utuh.
7.
Metode analissi bahan hukum
Metode analisis bahan hukum dalam penelitian ini, bahan hukum yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan
dengan cara memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun
sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan
menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar
pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
LITERATUR
Abdurrahman.
1978. Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Penerbit
Alumni
Abidin,
Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat
Prodjodikoro,
R. Wirjono. 1960. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:Sumur Bandung
Prawirohamidjojo,
Soetojo, dkk. 2000. Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas.
Bandung: Alumni
Soebekti
SH. Prof. 1987. Pokok-Pokok Hukum
Perdata. Cet XX1: PT Inter Massa
Cholid
Narbuko dan H. Abu Achmadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988 Metode
Penelitian Hukum dan jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia
B.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
C.
SUMBER
LAIN
http://www.alkhoirot.net/2013/05/dipaksa-orang-tua-gugat-cerai-suami.html (diakses 17 April 2016)
(diakses
20 April 2016)
[1] Abdurrahman,
1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni,
hal. 9
[2] R. Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bandung:Sumur Bandung, hlm. 8
[3] Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat,
hlm. 9
[4] Soedarsono Soimin, Hukum Orang dan Keluarga,
Perspektif Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, hlm. 71
[5] Soetojo
Prawirohamidjojo dkk, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas,
Alumni, Bandung, hal 8.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Soebekti SH.
Prof, Pokok-Pokok Hukum Perdata,. Cet XX1: PT Inter Massa, 1987, hal. 247
[9] Cholid Narbuko
dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal.
1.
[10] Ronny
Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian
Hukum dan jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar