Senin, 29 Januari 2018

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI PAKSA AKIBAT ORANG TUA ISTRI TIDAK MEMBERI RESTU

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP
CERAI PAKSA AKIBAT ORANG TUA ISTRI
TIDAK MEMBERI RESTU

BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang syumul atau universal, agama yang mencakup semua sisi kehidupan serta mengatur kehidupan di muka bumi ini maupun di akhirat yang tertuang dalam wahyu Allah SWT yaitu Al-Qur’an, ada pula pengaturan mengenai hukum Allah SWT yang dapat dijumpai dalam Hadits Nabi SAW maupun catatan-catatan lain dari sahabat Nabi serta para ulama yang dijadikan sebagai pedoman manusia dalam melaksanakan segala urusan duniawi serta untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang dihadapi manusia di dunia.
Salah satu yang diatur di dalam hukum Islam adalah mengenai perkawinan. Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang islami. Keluarga merupakan suatu ikatan hidup yang didasarkan karena terjadinya perkawinan, juga disebabkan karena persusuan, atau munculnya perilaku pengasuhan. Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.[1]
Berdasarkan hukum Islam, perkawinan adalah sebuah kewajiban bagi
setiap manusia, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan  untuk berpasang-pasangan yaitu dengan mengikatkan diri melalui perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan.
Perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam masyarakat antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Dalam perjanjian biasa para pihak adalah pada pokoknya mempunyai sifat merdeka atau bersifat bebas untuk menentukan sendiri isi perjanjiannya, asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan Ketertiban umum. [2]
Perkawinan sebagai suatu ikatan yang sah menurut hukum islam untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di jaman modern ini tak Jarang terjadi perceraian sebagai penghapusan perkawinan, karena Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan hubungan antar keluarga suami isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam tubuh keluarga. Dalam kehidupan sebuah keluarga pasti ada perbedaan, terkadang perbedaan tersebut yang menyebabkan terjadinya perselisihan tidak hanya antara suami istri saja namun bisa antara suami istri tersebut dengan kerabat keluarga yang lain
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami isteri tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. sehingga antara suami dengan isteri apabila telah bercerai maka tidak ada lagi ikatan perkawinan oleh keduanya. Perceraian menurut Ahli Fikih di sebut Talaq atau Firqoh. Talak artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.[3]
Alasan seseorang melakukan perceraian pun bermacam-macam, dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor 9  Tahun 1975 Pasal 19 menyebutkan        bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
a)             Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)             Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c)             Salah satu pihak mendapatkan hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d)            Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak yang lain;
e)             Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f)              Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada lagi harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
Namun didalam hukum Islam mengenai perceraian atau talak, Islam tidak melarang tidak juga memperbolehkan, akan tetapi dilihat dari permasalahan sebab dan akibatnya. Dalam hukum Islam yang dapat mengajukan cerai adalah suami, yaitu dengan cerai talak, sedangkan istri dapat mengajukan perceraian terhadap suami dengan cerai gugat melalui pengadilan. Namun ada pula yang bercerai karena alasan dan faktor lain, selain yang disebutkan diatas, salah satunya karena adanya orang tua yang menghalangi hubungan rumah tangga suami istri karena perbedaan pendapat antara orang tua dengan anak atau menantunya, dimana anak terpaksa dinikahkan karena hamil diluar nikah, padahal orang tua tidak merestui hubungan anak sebagai istri dari suaminya yang telah menghamilinya.
Selain itu juga karena menantu yang berkelakuan tidak baik sehingga mertua merasa anaknya tidak pantas bersama suaminya tersebut karena akan menimbulkan efek atau akibat buruk terhadap anaknya. Maka disini akan dibahas mengenai hak orang tua untuk menceraikan atau memerintahkan anak sebagai istri dari pasangannya untuk bercerai dikarenakan orang tua istri tidak memberi restu kepada anaknya untuk menikah atau melakukan perkawinan dengan laki-laki yang menjadi suami istri.

B.            PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut:
1.             Bagaimana pandangan hukum islam terhadap cerai paksa?
2.             Apakah hukum bagi orang tua istri yang meminta anaknya untuk bercerai?

C.            TUJUAN PENELITIAN
1.             Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap cerai paksa;
2.             Untuk mengetahui hukum cerai gugat akibat paksaan pihak ketiga berdasarkan hukum Islam.

D.           KEGUNAAN PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Adapun yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.             Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti, kalangan akademisi dan juga masyarakat mengenai hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian khususnya cerai paksa menurut hukum Islam;
2.             Dapat memberikan informasi kepada masyarakat atau pembaca mengenai hukum perceraian, khususnya cerai paksa akibat orang tua istri yang tidak memberi restu.
E.            MANFAAT PENELITIAN
1.              Manfaat teoritis
Diharapakan dari penelitian ini dapat menambah konstribusi pengetahuan tentang pandangan hukum islam terhadap cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi reestu sekaligus memperkaya teori kepustakaan hukum khususnya hukum Islam dan Hukum Perkawinan.
2.              Manfaat Praktis
Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi restu berdasarkan hukum Islam.

F.             KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan Hukum Islam antara lain:
1.             Teori Receptieo in Complexu
Teori ini dikemukakan oleh ahli hukum dan kebudayaan Belanda pada Tahun 1800. Teori ini menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam walaupun dengan sedikit menyimpang. Teori ini sangat kuat pengaruhnya dan caracara berfikir ahli hukum belanda didasarkan pada kenyataan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam. Dibuktikan dengan dikeluarkannya Stb. 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
2.             Teori Eksistensi
Bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum Nasional yaitu:
1)            Hukum Islam ada dalam arti berfungsi sebagai bagian integral dari hukum Nasional;
2)            Hukum Islam ada dalam arti berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum Nasional;
3)            Hukum Islam ada dalam arti diakui kemandiriannya, kekutannya, dan diberi status sebagai hukum Nasional;
4)            Hukum Islam ada dalam arti sebagai bahan hukum utama dan unsur utama dalam pembentukan hukum Nasional.
3.             Teori Lingkaran Konsentris
Dikembangkan oleh H.M. Tahir Azhari. Teori ini menggambarkan hubungan erat antara agama, hukum dan negara. Ketiga komponen ini apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris yang merupakan satu kesatuan dan berkaitan erat antara yang satu dengan yang lain. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran terdalam, karena merupakan inti dari lingkaran tersebut, baru kemudian disusul hukum berikutnya adalah negara.
     Teori ini digunakan untuk menjelaskan hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum nasional Republik Indonesia.
4.             Teori Penerimaan Autorita Hukum
Teori ini dikembangkan oleh H.A.R. Gibb. Bahwa setiap sistem hukum menyatakan orang-orang yang terikat dengan hukum harus bersedia mengakui otoritasnya dan mengakui bahwa hukum tersebut mengikat mereka walupun mereka boleh jadi melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum tertentu dalam hukum. Teori ini digunakan untuk menegaskan hubungan seorang muslim dengan hukum islam sebagai suatu kewajiban yang mengikat secara imani, kaitannya dengan hukum islam dengan yang diberlakukan di negara Indonesia berdasarkan Ideologi Pancasila dan UUD 1945.
5.             Teori Maqosid AL-Syari’ah Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Teori ini hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah SWT, bila menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Selain teori-teori mengenai hukum Islam diatas, penulis juga memberikan kerangka konseptual untuk melakukan penelitian yuridis normatif mengenai cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi restu yaitu sebagai berikut:

Perkawinan
Perkawinan secara umum adalah bersatunya dua pribadi antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah, sebagaimana diatur dalam agama Islam. Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Ada beberapa pendapat para ahli tentang perkawinan yaitu:
1.             Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara.[5]
2.             Menurut Subekti sebagaimana dikutip pada buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[6]
3.             Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.[7]
Menurut hukum Islam, perkawinan adalah satu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.

Rukun dan Syarat Perkawinan
Bagi setiap orang yang beragama Islam wajib menunaikan rukun dan syarat perkawinan dengan sempurna sebelum melakukan perkawinan, hal ini agar perkawinan menjadi sah berdasarkan hukum Islam dan juga peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia, dan berikut adalah lima rukun yang harus dipenuhi agar perkawinan menjadi sah yaitu:
1.             Wali nikah
Wali nikah adalah orang yang berhak mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki yang menjadi pasangannya, tanpa wali nikah, maka seorang wanita tidak sah untuk dinikahkan. Secara garis besar, wali nikah ada dua macam yaitu wali nikah khusus dan wali nikah umum.
1)            Wali nikah khusus adalah semua orang laki-laki yang berhak menjadi wali wanita yang akan menikah, baik orang tua ataupun kerabatnya.
2)            Wali nikah umum atau disebut wali hakim adalah wali dari petugas Kantor Urusan Agama (KUA)
2.             Calon Pengantin perempuan (Istri)
Istri adalah seorang perempuan tertentu yang bukan merupakan perempuan mahram dari bakal suami yang tidak sedang berada dalam masa iddah atau ihram haji atau umrah dan bukan merupakan istri dari seorang laki-laki lain.
3.             Calon Pengantin laki-laki (Suami)
Suami adalah seorang laki-laki tertentu yang bukan mahram dengan calon istri dan mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah yang akan dilaksanakannya. Calon pengantin laki-laki atau suami yang melakukan perkawinan dengan calon pengantin perempuan harus dengan kerelaan sendiri dan bukan merupakan paksaan.
4.             Dua orang saksi laki-laki
Saksi adalah seorang laki-laki yang dapat mendengar, melihat, dan berbicara serta memahami kandungan lafaz Ijab qabul yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua orang saksi perkawinan.
5.             Ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan yang dinamakan dengan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki. Ijab dan qabul harus dilakukan dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara Ijab dan Qabul.

Asas dan Prinsip Perkawinan menurut Hukum Islam
Selain harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan, juga harus mengetahui terlebih dahulu mengenai asas dan prinsip perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut:
1.             Harus terdapat persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan, caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2.             Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, karena ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.             Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
4.             Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tentram, damai dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
5.             Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami.
Perceraian
Berbicara mengenai perkawinan tak lepas juga terhadap permasalahan yang timbul dari adanya perkawinan tersebut yang berujung kepada perceraian. Secara umum Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan atas kehendak suami dan istri tersebut karena adanya putusan pengadilan. Soebekti mendefinisikan bahwa “Perceraian ialah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.[8]
Dalam hukum Islam cerai artinya Talak yang diartikan sebagai lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan dilingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa : “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”
Untuk mengetahui letak perbedaan macam-macam penyebab putusnya perkawinan, penjelasannya sebagai berikut:
1.             Cerai Talak
Menurut syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafadz talak atau lafadz sejenis yang sama maksudnya. Talak merupakan jalan penyelesaian yang terakhir sekiranya suami dan istri tidak dapat hidup bersama dan mencari kata sepakat untuk mencapai kebahagiaan berumahtangga. Talak merupakan perkara yang dibenci Allah SWT tetapi dibenarkan dengan melihat alasan dan sebab akibatnya.
Hukum Talak adalah sebagai berikut:
1)            Wajib
a.              Jika permasalahan suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi dan untuk menghindari akan munculnya bahaya lain jika tidak bercerai;
b.             Dua orang wakil dari pihak suami atau istri gagal untuk mendamaikan rumah tangga mereka;
c.              Apabila pihak hakim berpendapat bahwa talak adalah lebih baik.
2)            Haram
a.              Menceraikan istri ketika sedang haid atau nifas;
b.             Ketika keadaan suci yan telah disetubuhi;
c.              Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang istrinya daripada menuntut harta pusakanya;
d.             Menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih.
3)            Sunah
a.              Suami tidak mampu menanggung nafkah istrinya;
b.             Istrinya tidak menjaga harga dirinya sebagai wanita (muru’ah);
4)            Makruh
Suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama;
5)            Harus
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau istrinya belum datang haid atau telah putus haidnya.
2.             Cerai Gugat (Khulu’)
Talak khulu’ adalah gugatan dari istri untuk bercerai dengan suaminya. Khulu’ menurut ahli fiqh adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.
Hukum cerai gugat menurut hukum Islam yaitu sebagai berikut:
1)            Mubah
Jika istri sudah benci tinggal bersama dengan suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT dalam ketaatan kepadanya.
2)            Haram
a.              Dari sisi suami:
Apabila suami menyusahkan istrinya dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar istri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai.
b.             Dari sisi istri:
Apabila seorang istri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran diantara pasangan suami istri tersebut.
3)            Sunah
Apabila suami berlaku meremehkan hak-hak Allah SWT, maka istri disunahkan untuk Gugat Cerai.
4)            Wajib
Khulu’ hukumnya menjadi wjib pada sebagian keadaan seperti suami tidak pernah melakukan sholat padahal telah diingatkan. Dan jika istri murtad karena suaminya akan tetapi tidak diakui oleh hakim pengadilan.
Dalam terjadinya perceraian banyak sekali alasan-alasan yang dikemukakan, salah satunya yang dibahas dalam penelitian ini yaitu adanya paksaan dari pihak ketiga baik orang tua ataupun kerabat keluarga yang lain, sedangkan jika dilihat dari esensi perkawinan atau tujuan perkawinan maka banyak sekali alasan yang akan dijumpai. Dalam hal terpaksa bercerai karena adanya perintah atau paksaan dari pihak lain, hal ini tidak harus dilakukan apabila perkawinan tersebut telah sah menurut hukum Agama dan hukum Negara.
Cerai paksa adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan tidak berdasarkan kehendak suami dan istri, tetapi bisa hanya berdasarkan kehendak salah satu pihak saja yaitu istri atau suami saja, atau orang/pihak lain diluar perkawinan tersebut seperti orang tua atau saudara lainnya dengan berbagai alasan yaitu bahwa orang tua istri tidak memberi restu terhadap pernikahan mereka, karena anaknya terpaksa dinikahkan karena telah hamil diluar nikah, dapat juga karena suami tidak bertanggung jawab terhadap istrinya sehingga orang tua tidak lagi menghendaki mereka untuk hidup bersama. Selain itu dapat karena sang suami berkelakuan tidak baik terhadap rumah tangganya maupun keluarga sehingga orang tua atau kerabat keluarga merasa terganggu atau tidak menginginkan jika istrinya tetap menjalin ikatan perkawinan dengan suaminya.
Meskipun disisi lain seorang perempuan yang telah menikah harus menuruti setiap perkataan suami dan harus patuh kepada suami daripada orang tuanya, akan tetapi istri juga mempertimbangkan sebab akibat yang akan dialami jika perkawinannya tetap dipertahankan, maka bisa jadi istri kehilangan keluarganya karena keluarga tidak lagi menganggap sebagai bagian dari keluarga tersebut.

G.           METODE PENELITIAN

1.             Metode Pendekatan
Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporannya.[9]
Untuk memeroleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yang merupakan penelitian hukum kepustakaan, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.[10]

2.             Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh peneliti menggunakan tipe Deskriptif analitis yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran, menuliskan, dan melaporkan suatu obyek atau suatu peristiwa juga akan mengambil kesimpulan umu dari masalah yang dibahas.

3.             Lokasi Penelitian
Penelitina ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan instansi yang terkait dengan obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Kabupaten Banyumas untuk mencari penyelesaian permasalahan tentang cerai paksa akibat orang tua yang tidak memberi restu.

4.             Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa:
1)            Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, dan perjanjian yang berkaitan dengan hukum perkawinan yaitu:
a.              Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b.             Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c.              Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
d.             Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;
e.              Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
2)            Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan perceraian khususnya cerai paksa akibat orang tua istri tidak memberi restu.
3)            Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan perceraian yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

5.             Metode Pengumpulan Bahan Hukum
1)            Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada relevansinya kemudian disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dikaji.
2)            Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian selanjutnya dilakukan pengajian sebagai satu kesatuan yang utuh.

6.             Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian naratif yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yan diteliti sehingga menjadi satu kesatuan utuh.

7.             Metode analissi bahan hukum
Metode analisis bahan hukum dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
DAFTAR PUSTAKA

A.           LITERATUR
Abdurrahman. 1978. Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni
Abidin, Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1960. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:Sumur Bandung
Prawirohamidjojo, Soetojo, dkk. 2000. Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas. Bandung: Alumni
Soebekti SH. Prof. 1987.  Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet XX1: PT Inter Massa
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988 Metode Penelitian Hukum dan jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia

B.            PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

C.            SUMBER LAIN
(diakses 20 April 2016)



[1] Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hal. 9
[2]  R. Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:Sumur Bandung, hlm. 8
[3]  Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat, hlm. 9
[4]  Soedarsono Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, hlm. 71
[5] Soetojo Prawirohamidjojo dkk, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni, Bandung, hal 8.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Soebekti SH. Prof, Pokok-Pokok Hukum Perdata,. Cet XX1: PT Inter Massa, 1987, hal. 247
[9] Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal. 1.
[10] Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 11.

HUKUM

lebih prioritaskan keluarga suami daripada istrinya sendiri

 lagi pengen curhat tapi yang orang terdekat gak tau. ya udah cerita disini aja. ada yang punya pengalaman sama gak sih? lagi viral juga soa...

BACA JUGA